Hari berikutnya, Anton tiba di danau lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja naik, dan kabut tipis masih melayang di atas permukaan air. Ia membawa kanvas yang belum selesai dilukisnya kemarin-gambar gadis di atas batu besar. Tapi kali ini, ia tidak datang untuk melukis.
Ia ingin memahami sesuatu yang belum ia mengerti. Tentang dirinya, tentang Melati, atau mungkin tentang hubungan mereka yang baru saja dimulai.
Namun, Melati tidak ada di sana. Tempat yang biasanya ia duduki kosong, hanya diisi oleh embun pagi yang perlahan menghilang. Anton menghela napas panjang.
"Apa aku mengharapkannya terlalu banyak?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Ketika ia berbalik untuk pergi, suara langkah kaki menghentikannya. Melati muncul dari balik pepohonan, mengenakan jaket tebal berwarna biru tua. Rambutnya diikat ke belakang, dan wajahnya sedikit pucat.
"Kau datang pagi sekali," katanya dengan nada yang lebih pelan dari biasanya.
Anton hanya mengangguk, tidak ingin langsung memulai percakapan berat. Ia duduk di tepi danau, menatap air yang tenang. Melati mengikuti, duduk di dekatnya dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
"Kau baik-baik saja?" tanya Anton setelah beberapa saat.
Melati terdiam cukup lama hingga Anton mulai merasa tidak nyaman. Tapi kemudian ia menghela napas panjang dan berkata, "Ada sesuatu yang harus aku ceritakan. Tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya."
Anton menoleh, menatap Melati dengan penuh perhatian. "Kau tidak perlu terburu-buru. Aku di sini."
Melati tersenyum tipis, tetapi ada sesuatu di matanya-sebuah bayangan yang tidak pernah Anton lihat sebelumnya. "Aku dulu punya seseorang... seseorang yang sangat aku cintai. Dia adalah bagian besar dari hidupku. Tapi aku kehilangan dia."
Anton tidak mengatakan apa-apa, membiarkan Melati melanjutkan.
"Dia... meninggal dalam kecelakaan. Dan aku ada di sana. Aku melihat semuanya," katanya dengan suara yang hampir berbisik. "Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Itu adalah salah satu alasan aku meninggalkan kota besar. Setiap sudut jalan mengingatkanku padanya."
Anton merasakan gelombang empati yang sulit dijelaskan. Ia tahu rasa sakit kehilangan, meskipun kehilangan yang ia alami berbeda.
"Apa itu sebabnya kau menulis?" tanyanya hati-hati.
Melati mengangguk. "Menulis adalah caraku berbicara dengannya. Aku menulis surat-surat yang tidak akan pernah dia baca. Tapi itu membantuku merasa bahwa aku masih terhubung dengannya... meskipun hanya dalam pikiranku."
Anton merasa dadanya sesak mendengar pengakuan itu. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya, tetapi ia tahu satu hal: ia tidak ingin Melati merasa sendirian dalam beban itu.
"Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang," kata Anton akhirnya, suaranya pelan. "Ibuku meninggal ketika aku masih kecil. Aku tidak banyak mengingatnya, tapi aku tahu betapa sulitnya bagi ayahku. Dia berhenti berbicara selama hampir satu tahun. Aku rasa, dalam banyak hal, aku menjadi seperti dia."
Melati menatap Anton dengan penuh rasa simpati. "Kau pendiam karena itu?"
Anton mengangguk. "Mungkin. Aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana caranya berbicara tentang perasaan. Lukisan-lukisan ini adalah caraku mencoba memahami dunia... dan diriku sendiri."
Keheningan kembali mengisi udara, tetapi kali ini terasa lebih berat, lebih bermakna.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing