Beberapa minggu berlalu sejak kunjungan mereka ke taman kecil itu, dan hubungan Melati serta Anton tumbuh dalam ritme yang tenang dan alami. Mereka tidak bertemu setiap hari, tetapi pertemuan-pertemuan itu selalu membawa perasaan yang membekas.
Suatu pagi, Melati duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mengepul di meja. Ia memikirkan Anton—cara dia berbicara, senyumnya yang sederhana, dan bagaimana dia bisa memberikan ketenangan meski tidak banyak berkata-kata.
Melati tersadar bahwa kehadiran Anton mulai membantunya menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri. Ia tidak lagi merasa terlalu berat memikul kegelisahan yang selama ini menghantuinya.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari Anton.
“Ada tempat lain yang ingin aku tunjukkan. Kamu ada waktu sore ini?”
Melati tersenyum kecil, membalas cepat, “Ada. Di mana kita bertemu?”
Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di sebuah jalan setapak yang melintasi hutan pinus. Anton membawa ransel kecil, isinya tak lebih dari air minum dan beberapa buku catatan.
“Aku sering ke sini sendirian,” kata Anton sambil memimpin langkah mereka. “Tapi aku pikir kamu akan suka tempat ini.”
Melati mengikuti dengan antusias. Hutan itu tenang, hanya terdengar suara ranting yang patah di bawah langkah kaki mereka dan gemerisik dedaunan di angin sore. Setelah sekitar setengah jam berjalan, mereka tiba di sebuah bukit kecil yang menghadap ke lembah luas.
Anton menunjuk ke depan. “Itu dia.”
Melati tertegun. Di depannya terbentang hamparan lembah hijau dengan sungai kecil yang berkelok di tengahnya. Di kejauhan, matahari mulai turun, menciptakan warna oranye dan merah muda yang melukis langit.
“Indah sekali,” bisik Melati.
Anton duduk di atas batu besar, memandang ke arah lembah. Melati ikut duduk di sampingnya, menikmati pemandangan yang terasa seperti lukisan hidup.
“Kenapa kamu suka tempat ini?” tanya Melati setelah beberapa saat.
Anton tersenyum kecil. “Karena di sini aku bisa benar-benar merasa kecil. Lihat lembah itu, begitu luas dan damai. Rasanya seperti semua beban yang kita bawa tidak terlalu penting dibandingkan dengan keindahan ini.”
Melati mengangguk, memahami apa yang dimaksud Anton. Tempat itu memang memiliki energi yang menenangkan, seperti memeluk siapa pun yang datang dengan hati terbuka.
“Terima kasih sudah mengajakku ke sini,” kata Melati.
Anton menoleh, menatapnya dengan mata yang lembut. “Sama-sama. Aku senang kamu menikmati tempat ini.”
Mereka duduk di sana sampai matahari hampir tenggelam sepenuhnya, membiarkan keheningan berbicara lebih dari apa pun.
Saat mereka berjalan kembali menuju mobil, Anton berkata, “Melati, aku rasa aku tahu sesuatu yang ingin kulakukan.”
Melati menoleh, penasaran. “Apa itu?”
“Aku ingin mendokumentasikan perjalanan-perjalanan kecil seperti ini,” kata Anton. “Tempat-tempat yang membuatku merasa damai, dan orang-orang yang membantuku menemukan makna kedamaian itu.”
Melati tersenyum, merasa tersentuh oleh ide itu. “Itu ide yang indah. Aku yakin, apa pun yang kamu tulis, akan menjadi sesuatu yang berharga.”
Anton tertawa kecil. “Mungkin aku akan mulai dengan menulis tentang kamu.”
Melati tertawa pelan, sedikit terkejut. Tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat—sesuatu yang perlahan tumbuh, seperti riak kecil di danau.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing