Hari-hari berlalu, dan seperti sudah menjadi rutinitas, Anton dan Melati sering bertemu di tepi danau. Mereka jarang berbicara panjang, tetapi kehadiran satu sama lain mulai terasa seperti bagian tak terpisahkan dari sore yang tenang.
Sore itu, langit berwarna biru pucat dengan awan tipis melayang perlahan. Melati sedang menulis di buku catatannya, sementara Anton melukis pemandangan yang sama sekali berbeda dari yang biasanya ia pilih—sebuah bayangan samar seorang gadis yang duduk di atas batu besar, dikelilingi oleh nuansa keemasan senja.
“Jadi,” Melati memecah keheningan, “apa yang kau suka dari melukis?”
Anton berhenti sejenak, kuasnya menggantung di udara. Ia menoleh ke arah Melati yang sedang menatapnya, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Aku rasa,” katanya perlahan, “aku melukis untuk menangkap sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang mungkin hanya bisa dirasakan.”
Melati tersenyum kecil, lalu menunduk kembali pada buku catatannya. “Menarik. Aku menulis untuk hal yang hampir sama... tapi dengan cara yang berbeda. Aku ingin memberi kata-kata pada sesuatu yang sulit kurasakan.”
Anton mengernyitkan dahi. “Maksudmu?”
Melati menutup bukunya perlahan, lalu memandang ke arah danau. “Kadang, aku merasa ada bagian dari diriku yang kosong. Menulis adalah caraku mencoba memahami kekosongan itu... atau setidaknya memberi nama untuknya.”
Anton terdiam. Kata-kata Melati menyentuh sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang selama ini ia abaikan. Ia tahu rasanya kosong, tapi ia tidak pernah memikirkan bahwa kekosongan itu bisa diberi nama atau dihadapi.
“Apa kau selalu merasa begitu?” tanya Anton akhirnya.
“Tidak selalu,” jawab Melati sambil tersenyum kecil. “Ada hari-hari di mana aku merasa utuh. Tapi...” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “biasanya hari-hari itu adalah saat aku di tempat seperti ini. Di tempat yang tenang.”
Anton mengangguk pelan. Ia bisa memahami perasaan itu. Ia sering merasa hidupnya hanya berjalan tanpa arah, tetapi setiap kali berada di tepi danau ini, semuanya terasa lebih jelas, lebih berarti.
Melati mengangkat pandangannya lagi. “Bagaimana denganmu, Anton? Apa kau merasa kosong juga?”
Anton terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa menghindarinya. Ia menatap kanvasnya sejenak, lalu berkata pelan, “Mungkin. Tapi aku tidak tahu apa yang hilang.”
Melati tersenyum lembut, lalu kembali menulis di buku catatannya. Anton merasa lega karena Melati tidak memaksa jawaban darinya. Ia tidak suka berbicara tentang perasaannya, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin Melati adalah orang yang bisa mengerti tanpa banyak penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Find Peace In Silence
Non-FictionDua orang yang Mengisi kekosongan masing masing