happy reading, all!!!
//
Hal yang paling sulit ketika berpisah dengan Rhun adalah bagaimana cara menghindarinya. Banyak kesamaan di antara kita, mulai dari kantor sampai teman sepermainan. Seberapa lihai aku mencoba, pasti ada celah untuknya berusaha menemuiku.
Jadi satu bulan sebelum aku mengembalikan cincin pertunangan, aku sudah mengajukan surat pengajuan resign pada Mbak Dena.
"Loh kenapa? Emang Rhun gak kasih kamu izin kerja ya pas udah nikah nanti?" tanya Mbak Dena dengan senyum kecil.
Tadinya Mbak Dena tidak menaruh curiga, tetapi ketika aku ingin berita ini dirahasiakan dulu, ia mulai mendesakku untuk cerita.
"Heheh gapapa, Mbak. Aku gak kepengen beritanya jadi heboh. Di kasih tahunya nanti aja pas hari H," jawabku, mencoba terdengar netral.
Mbak Dena tertawa kecil. "Kirain ini ada kaitannya sama hubungan kamu sama Rhun. Soalnya ujian orang mau nikah itu ada aja. Sering berantem-lah, banyak gak cocoknya, ya pokoknya ada aja."
Aku hanya mengangguk. Tidak sanggup berkata lebih banyak.
"Terus habis resign kamu mau ke mana? Ada rencana apa?" tanyanya.
"Ayahku punya usaha percetakan, belakangan juga ekspansi bikin pabrik packaging. Aku mau bantu Mas-ku yang kayaknya udah mulai kewalahan," jawabku akhirnya. Kata-kata itu terasa hambar, jauh dari kebenaran yang sebenarnya ingin kusampaikan.
Surat permintaan resignku di-approved seminggu setelahnya. Aku tidak langsung keluar—aku masih punya notice period tiga minggu. Tetapi tiga minggu pun terasa seperti jarak yang terlalu dekat untuk aku mempersiapkan diri.
Mempersiapkan diri untuk kehilangan Rhun dan segala kenangan yang kami miliki.
"Hah???? lo kok resign sih, Bri?!" Syifa ngomel-ngomel meski tetap membantuku untuk menaruh barang-barang ke kardus.
Aku memasukkan barang-barangku ke dalam kardus: mug pemberian Rhun, foto kebersamaan tim di outing tahun lalu, dan sticky notes penuh motivasi dari Syifa. Semua itu pernah membuatku tersenyum. Aku tidak menyangka semuanya akan terjadi begitu cepat.
Hari ini—satu hari setelah aku memutuskan pertunaganku dengan Rhun—adalah terakhir aku bekerja di Good Livin.
"Ya, parah lo!" Rangga juga ikutan kesal. "Lo gak anggap kita temen deket ya? Senggaknya lo kasih tahu kek."
Aku tersenyum kecil, memandang tiga teman dekatku—termasuk Mbak Ira—dengan tatapan haru. Pertemanan kita terjalin begitu singkat, tetapi aku tahu bahwa mereka tulus padaku.
"Pasti lo mau fokus ke persiapan pernikahan kan?" tembak Mbak Ira dengan nada menggoda, lalu diikuti dua lainnya.
Selama ini, aku hanya menutupi masalah yang aku hadapi. Rasanya tidak punya energi untuk itu. Hatiku saja sesak dan sakit, menceritakan hanya makin menambah luka saja.
Perkiraanku, Rhun akan tahu berita ini setelah jam makan siang—mungkin dengar dari Mbak Dena, mungkin dari teman satu departemennya. Benar saja, aku mendengar langkah kaki menuju kubikelku.
"Kamu gak bisa ninggalin aku kayak gini, Bri," ucapnya dengan napas terengah.
Rhun berjalan mendekat. Sekilas tidak ada yang aneh dari penampilannya, selain wajahnya yang tidak secerah biasanya. Namun, pandanganku beralih pada tangan kanannya yang diperban.
Benarkah itu karena dia menghantam sesuatu kemarin malam?
"Hubungan itu dibangun dua orang," lanjutnya dengan nada putus asa. "Dimulai dua orang dan disepakati dua orang. Jadi kalau salah satu di antara kita menolak, aku gak akan menganggap pertunangan kita batal."
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
Chick-LitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...