happy reading, oll!!!
//
Langit mendung sejak pagi, seolah-olah ingin mengingatkan aku bahwa harapan tidak selalu berakhir cerah. Tapi aku tetap melangkah, menatap gedung di depanku, mencoba menggantungkan doa di awan abu-abu itu. Ini interviu ke empat setelah aku resmi keluar dari Good Livin.
"Semoga nanti ada kabar baik," gumamku sebelum akhirnya berjalan menghampiri sahabatku di samping minimarket.
"Lancar gak tadi?" tanya Tamara sembari menepuk pundakku pelan, sementara Wina tersenyum kecil—kebetulan saja perusahaan yang aku tuju kali satu gedung dengan perusahaan mereka.
Aku hanya tersenyum simpul. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana hasilnya. Setiap kali aku merasa yakin, kenyataan selalu menghancurkan harapanku. "Doain aja yang terbaik, ya."
Tamara, Wina, dan Clara bahkan teman-teman dekat kantor di Good Livin sudah tahu tentang berita yang beredar di sosial media. Tentang pertengkaran Rhun dan Kafka di basement beberapa waktu lalu.
Beberapa kali mereka mengirimkan aku pesan untuk menanyakan keadaan, tetapi tidak lebih. Karena mereka tahu jika aku pun perlu waktu.
"Mau gue anterin pulang gak?" tawar Tamara yang aku langsung tolak dengan sopan.
"Gausah. Lo juga kan masih kerja. Gue bisa pakai ojek kok. Lagipula gue masih ada perlu, gak langsung balik ke rumah," jelasku—mereka pun tidak ada lagi yang bertanya jauh.
Di sinilah aku sekarang. Di depan rumah Kafka. Kakiku terus saja membawaku ke sini, meski berkali-kali aku pulang dengan rasa kecewa. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin aku cari—mungkin sekadar memastikan dia baik-baik saja.
Aku memencet bel rumahnya. Tak lama, Mbok Ir, asisten rumah tangganya, membukakan pintu dengan senyum ramah. "Aduh, maaf, Non Bri. Mas Kafka sedang keluar. Tadi juga gak bilang pulang jam berapa."
Aku menghela napas. Bukan pertama kalinya aku datang dan mendengar jawaban yang sama. Pandanganku beralih ke mobil Kafka yang masih terparkir di tempat yang sama seperti terakhir kali aku ke sini. "Kalau boleh tahu, dia ke mana ya, Mbok?"
Mbok Ir terlihat ragu. "Kalau itu ... saya kurang tahu, Non. Mungkin kerja."
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku datang ke sini. Aku sudah beberapa kali datang, tetapi jawabannya masih sama. Kafka tidak ada di rumah.
Aku tahu itu bohong. Kafka sudah hiatus dari semua aktivitasnya sejak berita pertengkaran itu viral. Manajernya bahkan mengumumkan bahwa Kafka akan mundur dari beberapa proyek dan fokus pada pemulihan diri.
.... Kafka akan merefleksikan diri tindakannya. Semoga di masa depan, ia akan kembali lagi dengan versi yang lebih baik.... ucap sang Manager ketika di wawancarai oleh awak media.
Ia benar-benar hilang di telan bumi dan itu membuat aku merasa kehilangan.
"Ya udah kalau gitu saya—"
"Mbok Mbok...." teriak satu asisten rumah tangga Kafka lainnya. "Mbok, Mas Kafka pingsan lagi!"
"Ya Allah, Gusti...." Mbok Ir setengah berteriak dan panik, lalu berlari ke dalam meninggalkan aku sendiri.
Mendengar kabar itu, aku langsung ikut masuk ke dalam mengekori Mbok Ir dan asistennya.
Kamar Kafka begitu gelap, pengap, dan berantakan—masih sama seperti waktu aku datang ke sini.
Ketika aku melihat tubuh Kafka tergeletak di depan kamar mandi, napasku tertahan. Kegelapan kamar terasa menekan dadaku. Laptopnya menyala, memperlihatkan wajahnya sendiri di video yang viral, seperti hantu dari masa lalu yang terus menghantui.
Aku, Mbok Ir memapah tubuh Kafka, lalu menidurkannya di kasur. Tanganku menyentuh dahinya yang panas dengan napas pendek-pendek.
"Mbok, Mas Kafka udah lama begini? Dia sakit apa?" todongku langsung—melihat kondisi Kafka membuat aku hampir hilang akal karena sangat khawatir.
Mbok Ir terlihat bingung dan ragu-ragu secara bersamaan, lalu akhirnya ia pun menjawab. "Belakangan ini semenjak di rumah saja, Non," balasnya dengan suara bergetar. "Saya—-saya akan telepon dokter dulu. Setidaknya dokter perlu tahu kondisi Mas Kafka sekarang."
Ketika semua pergi menjauh, aku masih memeluk tubuh Kafka yang terbaring lemah. Kemudian, saat aku membelai rambut depannya, pandangaku beralih pada tiga obat.
Tanganku gemetar saat menyentuh botol-botol itu. Obat tidur. Penenang. Lambung. Aku menelan ludah, berusaha memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Kafka.
Kenapa aku tidak tahu betapa ia terluka?
**
Dokter Joel datang sekitar satu jam kemudian. Setelah memeriksa Kafka, dia menatap kami dengan serius.
"Jadi, dia belum makan sejak kemarin sore?" tanyanya.
Mbok Ir mengangguk cepat. "Semua makanan dicoba, Dok, tapi selalu keluar lagi. Kadang dia juga gak mau buka pintu."
Dokter Joel mengangguk. "Itu karena GERD-nya sudah parah. Kondisinya diperburuk oleh stres. Kalau begini terus, dia bisa dehidrasi."
Hatiku mencelos mendengar penjelasan itu. Aku tidak pernah tahu Kafka menderita seperti ini.
"Kita opname saja, ya, Dok?" pintaku.
"Jangankan opname, Non," sahut Mbok Ir. "Mas Kafka itu gak mau keluar kamar selama berbulan-bulan. Kalau malam, suka teriak-teriak. Kadang baru tenang setelah minum obat dari dokter."
Aku menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan tangis. Kafka tidak hanya sakit fisik, tapi juga mental.
"Kafka butuh lebih dari obat, Mbak," lanjut dokter Joel. "Dia butuh konseling. Psikiater. Obat ini hanya membantu sementara, tapi penyebabnya harus diatasi."
Aku mengangguk, meski hatiku terasa berat. "Kalau begitu, aku akan pastikan dia mendapat bantuan yang dia butuhkan."
Dokter Joel menepuk pundakku lembut. "Di saat seperti ini, dukungan dari orang terdekat sangat berarti. Semoga dia mau mendengarkan."
Setelah dokter pergi, aku kembali duduk di samping Kafka. Tanganku menggenggam tangannya erat. Tubuhnya yang dulu berisi kini terlihat sangat kurus. Tulang pipinya menonjol, kulitnya pucat, dan napasnya terdengar berat. Air mataku akhirnya jatuh tanpa bisa aku tahan.
"Non..." suara Mbok Ir terdengar pelan dari balik pintu. "Maaf Mbok sudah bohong. Itu semua permintaan Mas Kafka. Dia nggak mau Non tahu kondisinya dan khawatir."
Hatiku semakin hancur. Aku memandang Kafka yang tertidur lemah. Sekarang aku sudah tahu kondisinya, bisikku dalam hati. Dan aku... tidak akan pernah meninggalkannya.
**to be continued**
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
ChickLitBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...