Bab 31. Tantangan Keberanian

2 0 0
                                    

Tessa tak mau melihat Luke tidur bersama Lyra, walau hanya berdampingan saja. Ia cemburu, tetapi tidak mungkin. Ia dan Luke bukan takdir yang sesungguhnya. Jadi, dia tidak mungkin cemburu. Namun, rasa apakah yang mendesak dadanya setiap melihat Luke bersama Lyra? Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ia kembali ke dalam, mengenakan jaket yang diberi Nick tadi. Tak disangka, ukurannya sangat pas. Bahkan topi itu membuat telinganya hangat. Sarung tangan kulit tersimpan pada lipatan jaket dan Tessa segera mengenakannya begitu menemukan. Anehnya, semua warnanya seragam, membuat Tessa mau tak mau tersenyum.

Nick sangat aneh, pikirnya. Dia begitu lembut, yang sangat tidak cocok dengan sifat werewolf yang selama ini dia temui. Namun, Tessa tak mau memikirkannya sekarang. Dadanya terlalu sesak oleh Luke dan Lyra.

 Setelah mengenakan pakaian hangat, Tessa memutuskan untuk melihat-lihat desa. Ia tak bisa tidur sekarang karena nanti malam ia tak ingin terjaga. Ia tak mau ambil risiko berjaga ketika dirinya harus bersembunyi. Rasanya pasti menyiksa. Ia lebih suka bersembunyi sembari tidur. Waktu akan cepat berlalu.

Tessa tak yakin dirinya akan diminta untuk sembunyi malam nanti, tetapi ketika berjalan naik ke desa dan bertemu Ralph yang tengah menahan kuap, dugaan Nick ternyata benar. Ralph menyuruh Tessa untuk tidak keluar kabin nanti malam. Ia juga meminta mengunci dirinya di kamar selama Mate Ceremony berlangsung.

Tessa mengedikkan bahu dan hanya menjawab baiklah kemudian melanjutkan eksplorasinya. Ia mengikuti jalan setapak yang menghubungkan kabin satu dengan kabin lain, balas tersenyum saat para penghuni kabin keluar dan tersenyum ramah padanya. Gadis-gadis di sana cantik-cantik. Rambut mereka panjang dan lurus. Badan mereka juga langsing, tetapi agak lebih pendek dari teman-teman Tessa. Namun, wajah mereka begitu cerah. Beberapa, Tessa melihat, tengah bermain mata dengan tamu mereka. Gadis itu juga mendapati Zev mengerling ke salah satu gadis, yang kemudian terkikik. Tessa mual menyaksikan hal itu.

Ia naik ke tempat yang lebih tinggi dan sekilas menengok ke bawah. Kabin-kabin itu tampak seperti tempat tinggal yang nyaman. Pohon-pohonnya bmemiliki akar yang kuat, dan melindungi. Salju sudah berhenti turun, atau tertahan pada daun-daun yang menjulang di atas. Tetapi Tessa yakin yang pertamalah yang benar. Sebab, ia melihat awan mendung bergerak menjauh.

Suara tawa menarik perhatian gadis itu. Tessa mengikuti suara tersebut. Ia mendengar gemiricik aliran air dan tertarik menuju ke sana. Ia terus berjalan, menembus tanjakan dan turunan hingga sampailah pada jurang. Tidak, itu bukan jurang melainkan tebing. Ia mengintip dari pepohonan di bibir tebing. Ada segerombolan pemuda yang sedang asik bermain-main di air terjun. Air terjun tersebut letaknya tdak jauh, hanya beberapa meter saja di bagian sisi lain tebing. 

Dalam musim dingin begini, para pemuda itu bertelanjang dada, melompat dari atas dan mendarat ke air di bawahnya, kemudian tertawa. Tessa menggigil membayangkan betapa dinginnya air itu. Namun, para pemuda itu seolah tak terganggu sama sekali.

"Hei, Nick! Tunjukan gaya itu pada Rose!"

Mata Tessa menyipit. Ia melihat Nick ada di antara mereka. Rupanya, tubuh pemuda itu tidak sekurus dugaan Tessa. Bahunya bidang dan ototnya kencang. Pinggangnya ramping menawan, terbalut ban celana panjang yang terkancing. Kulitnya begitu mulus, putih, dan hampir-hampir bersinar. Rambutnya basah sehingga mampu membuat semua wanita yang memperhatikannya berfantasi. Wajah Tessa merona karenanya. Ia pun berpaling, melihat apa pun selain pemuda itu.

Di bawah, di pinggir kolam air terjun, Tessa melihat gadis-gadis duduk, mendongak sembari berbisik. Ada tiga gadis di sana, salah satunya Rose, yang ingin melihat gaya Nick saat melompat. Entah gaya apa yang dimaksud, Tessa jadi ingin tahu.

"Aku tidak mau!" seru Nick pada temannya. "Kalian akan dikutuk setelah melihat gaya itu."

"Ayolah!" Salah satu gadis yang duduk di tepi kolam merajuk. "Sekali saja!"

"Tidak mau!" Nick bersikeras.

Mendadak, seseorang menyenggol Tessa. Rupanya, dia adalah Tom-tom. Bocah itu kembali lolos dari ibunya. "Hei, Nick! Lihat siapa di sini!"

Tessa panik. Dia menempelkan telunjuknya ke bibir agar Tom-tom diam, tetapi terlambat.

"Miss Blackthorne! Apa yang kau lakukan di situ?" tanya Nick. Ia hendak mengambil kemeja yang ditanggalkannya, tetapi temannya yang tadi berlari dan hendak membawa Nick terjun bersamanya. Namun, pada saat terakhir, Nick menghindar. Gerakannya begitu luwes. Ia berkelit dan berputar, tangannya meraih ban celana si kawan hingga tertahan di pinggir air terjun.

"Apa sih yang kau pikirkan?" Nick tampak marah.

"Tenang, aku hanya umpan, kok."

"Apa?"

Dari belakang, pemuda lain menabrak Nick, membawa dia dan kawannya tadi terjun setinggi tiga meter ke kolam air terjun. Ketika kepala mereka muncul di permukaan, Nick tertawa, bersama teman-temannya. Ia menyipratkan air kepada mereka, membuat Tessa yang mengamatinya pun tanpa sadar ikut tersenyum.

"Hei, Miss Blackthorne! Jangan mengintip dari sana!" seru salah satu gadis yang duduk di pinggir kolam. "Turunlah dan duduk bersama kami!"

Tessa menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku pulang saja!" Ia memeluk tubuhnya sendiri.

"Ayolah, tidak sedingin itu, kok!" seru gadis itu lagi. "Lihat!" Gadis itu lantas masuk ke air, berenang bolak-balik kolam. "Air terjun ini hangat karena dari sumber mata air panas."

Tessa menoleh pada Tom-tom dan melihat bocah itu mengangguk. Ia berpikir sejenak, kemudian memutuskan. "Baiklah! Ke mana arah turunnya?"

Gadis tadi tertawa. "Lompat saja!"

Tessa menggeleng. "Aku lebih suka cara manual."

"Ayolah!"

"Cukup, Rose!" hardik Nick. "Kalau dia tidak mau jangan dipaksa!"

Nick terdengar seperti meremehkan keberanian Tessa. Hal itu membuat sang gadis tersinggung. "Baikah, aku akan melompat."

"Jangan!" Nick panik, tetapi bagi Tessa larangan berarti perintah. Ia lantas membuka mantelnya, memberikannya pada Tom-tom. Ia juga menanggalkan sepatu, kemudian sarung tangan, dan terakhir topi.

"Miss Black--oh, tidak." Nick hanya pasrah ketika melihat Tessa melompat. Gadis itu berteriak. gaunnya tersibak ketika tubuhnya membelah angin. Suara ceburan membuat Rose dan gadis-gadis lain terbahak.

Tessa tahu gadis tadi berbohong ketika tinggal satu inchi jaraknya dengan permukaan air. Dingin menyengat kulitnya begitu menyentuh air. Paru-parunya seakan meledak. Tubuhnya kaku di dalam air. Ia tak bisa bernapas dan kepalanya mulai kehilangan kesadaran. Mendadak, sebuah lengan mendekapnya, memberikan kehangatan yang diharapkan. Lengan itu juga mengankatnya keluar dari air, membebaskan paru-parunya. Tessa terbatuk, gemetar, dan kepalanya berdenyut menyakitkan.

***







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 10 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Redemption of Fallen AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang