Abu dan Arang

2 0 0
                                    

Dunia berputar lagi, fajar menyingsing. Sebenarnya matahari masih sangat tersembunyi, hanya celah cahaya yang tersingkap. Entah kenapa aku sedari tadi sudah bangun, namun hanya berdiam diri di kamar. Membuka jendela dan memperhatikan semuanya. Kota masih dipenuhi dengan kegelapan, hanya sedikit lampu yang menyala di sana.

Lampu jalan merupakan hal yang sangat mahal biaya perawatannya. Jika ada kota yang memiliki fasilitas seperti itu, mungkin mereka adalah kota yang sangat makmur di dunia ini. Aku sedikit ingat tentang cerita dari Felix Aarav dulu. Dia hidup di kota yang sampai malam selalu terang benderang. Namun sampai sekarang aku tidak tahu persis di mana kota dia berasal.

Aku juga tidak tahu jenis lampu seperti apa yang digunakan dalam penerangan itu. Obor? Lampu minyak zaitun? Atau bagaimana? Sangat tak terbayangkan. Bisa juga mereka menggunakan mustika sihir sebagai dasarnya. Apa pun itu, Felix hidup di kota yang sangat makmur.

Altenzeitz juga cukup makmur, aku bisa merasakan hawa dingin serta arsitektur yang baik di sekelilingnya. Marmer ada dimana-mana. Airnya mengalir langsung melalui saluran khusus dari gunung. Benar-benar sebuah kota yang berbeda dari umumnya. Meski begitu aku harus melanjutkan kewajibanku sebagai tamu, yakni membantu Ibu Hafka dalam pekerjaannya.

Aku keluar dari kamar, menemukan Alz yang juga keluar tepat di waktu yang sama.

“Oh, halo Arslan, kau sudah bangun? Semalam aku tidur jam berapa ya? Aku lupa.”

Alz berbicara pelan, wajahnya masih dipenuhi dengan tatapan tak fokus. Melihat ke arahku sambil menguap. Menggaruk kepala, lalu menyilangkan tangan di dadanya. Sepertinya kedinginan. Menanggapi pertanyaan itu, aku lalu mengucapkan sesuatu.

“Tidak tahu, tiba-tiba kau sudah tertidur saja, jadi aku memasukkanmu ke kamar.”

“Oh begitu ya..., memasukkanku ke kamar..., Eh? Memasukkan?!”

Alz tampak kaget, wajahnya memerah, pupil matanya mengembang. Tubuhnya bergetar, tangannya juga bergerak ke mana-mana setelah mendengar itu. Sepertinya ia telah bangun dengan sepenuhnya sekarang.

“Ya, seperti itu intinya.”

“A-Apa maksudmu?”

“Sudah, cepat menuju ke bawah, kita harus segera membantu kedai ini sekarang.”

“Ah, iya...”

Kami menuruni tangga kecil tadi. Sampai di ruang keluarga bawah lalu mengarah ke kedai. Di sana sudah tercium aroma asap. Tandanya mereka sedang memasak sekarang. Berjalan, kami akhirnya bertemu dengan Ibu Hafka yang sedang memotong bahan.

“Halo Alz dan Arslan, kalian sudah bangun ya, sini duduk dulu.”

“Tidak perlu bu, kami mau langsung membantu.”

“Sebenarnya tidak perlu loh, tidak usah merasa tak enak. Lebih baik kalian keliling kota saja setelah ini. Banyak hiburan kok di sana.”

“Ibu, kami ingin membantu.”

“Ahaha, kamu memang susah dialihkan ya Arslan. Jadi kalian mau mulai dari mana?”

Dalam kedai makan seperti ini, pemiliknya akan memasak beberapa hidangan terlebih dahulu sebelum tokonya buka. Tetapi ini kembali kepada kebutuhan toko. Kedai tertentu terkadang membutuhkan waktu yang lebih siang untuk memasak menu pertamanya. Namun untuk kedai yang sangat ramai seperti ini, mereka biasanya akan menyiapkan semua makanan dari pagi buta. Benar-benar dimulai dari matahari yang bahkan belum terbit dari ufuk timur.

Dari pernyataan seperti ini dapat disimpulkan bahwa Kedai Lotus merupakan kedai yang paling ramai di Altenzeitz. Berbekal pengetahuan ini aku meminta sedikit waktu kepada Ibu Hafka. Berpikir bahwa menyelaraskan strategi dengan Alz adalah hal yang terpenting.

RattleheartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang