{34} Janji dan Bahaya

31 4 1
                                    

"Di antara banyaknya ancaman dan bahaya yang mengintai, yang paling gue takutin cuma satu—kehilangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Di antara banyaknya ancaman dan bahaya yang mengintai, yang paling gue takutin cuma satu—kehilangan."

_ALICEZA_

Aska dan Aliceza tiba di depan rumah Aska. Aliceza yang hanya berniat meminjam buku catatan memilih menunggu di teras, sementara Aska masuk ke dalam rumah.

Begitu Aska membuka pintu, hawa tegang langsung menyambutnya. Di ruang tamu, kedua orang tuanya sudah duduk dengan ekspresi yang jelas menunjukkan amarah yang tertahan.

Langkah Aska melambat. Ia berusaha tetap tenang, tapi jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Begitu mendekat, ia menundukkan kepala dan menjabat tangan ayah dan ibunya.

"Dari mana aja kamu?!" suara Mamanya langsung menyambar, tajam dan penuh emosi.

Aska menelan ludah. Bahunya menegang, tatapannya tetap tertunduk. "Dari sekolah, Ma… minjam buku di perpus," jawabnya pelan.

"Kamu tahu ini sudah malam?! Adik kamu sendirian di rumah! Tega kamu ninggalin dia sendirian?!" bentak Mamanya dengan nada tinggi.

Suara itu sampai ke telinga Aliceza yang masih berdiri di teras, bahkan terdengar sampai ke kamar Rora.

Aska mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menahan rasa bersalah yang semakin menumpuk. "Maaf, Ma…" suaranya sedikit bergetar.

"Maaf-maaf?! Saya nggak butuh maaf kamu!" Mamanya bangkit dari duduknya, wajahnya semakin memerah. "Saya cuma mau kamu jaga adik kamu! Kalau dia kenapa-kenapa, siapa yang mau tanggung jawab?! Kamu?!"

"Aska udah minta maaf, Ma," suara Papanya terdengar lebih tenang, mencoba meredakan emosi istrinya. "Jangan terlalu keras, nanti Rora kebangun."

Mamanya menghela napas panjang, masih dengan ekspresi kesal. Tatapannya menusuk Aska. "Saya nggak mau kejadian ini terulang lagi. Kamu itu Abangnya Rora, tugas kamu jaga dia! Kalau nggak bisa, nggak usah jadi Abang, nggak usah jadi anak saya! Ngerti?!"

Aska hanya bisa mengangguk pelan. Rahangnya mengatup erat, tapi ia tidak berani menjawab lebih dari itu.

Tanpa menunggu jawaban, Mamanya berbalik dan masuk ke kamar, diikuti Papanya yang hanya menggeleng kecil sebelum pergi.

Aska berdiri diam di ruang tamu. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menekan perasaan yang sesaq di dadanya. Matanya meredup, tapi ia tidak ingin membiarkan emosinya meledak.

Dengan langkah berat, ia naik ke kamarnya, membuka laci meja belajar, dan mengambil buku catatan biologi yang tadi Aliceza minta. Tangannya sedikit gemetar saat meraih buku itu. Setelah menghembuskan napas panjang, ia berjalan kembali ke luar.

Aliceza masih berdiri di dekat pintu, memainkan ujung lengan sweaternya, seolah ingin bertanya tapi ragu. Begitu Aska mendekat, ia langsung menyodorkan buku itu tanpa banyak bicara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALICEZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang