Suasana sore di taman semakin hening. Ardan tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Zaisha yang semakin menjauh. Hatinya terasa berat, tetapi setidaknya ada secercah harapan. "Dia bilang butuh waktu," gumamnya lirih.
Di sisi lain, Zaisha melangkah cepat menuju gerbang sekolah. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Ia merasa lega karena telah mengungkapkan isi hatinya, tetapi juga bingung karena bayangan masa lalu masih menghantuinya.
"Lo gak papa Sha?" tanya Reina yang sudah menunggunya di depan gerbang sekolah karena khawatir kalau harus meninggalkan zaisha sendiri.
Zaisha mengangguk singkat. "Gapapa kok, gue cuma capek"
"Kalo capek, kita nongkrong dulu yuk! Biar pikiran lo lebih tenang," ajak Dyara, mencoba mencairkan suasana.
Zaisha tersenyum kecil. "Boleh deh, tapi gak lama ya. Gue takut orang tua gue nanyain."
Mereka pun menuju kafe kecil yang sering menjadi tempat mereka menghabiskan waktu bersama. Namun, meski suasana di kafe itu ceria, pikiran Zaisha tetap terjebak pada percakapan singkatnya dengan Ardan.
Sementara itu, Ardan merenung di kamarnya sendiri. Ia merasa sudah memberikan segalanya, tetapi tetap ada tembok besar yang memisahkannya dengan Zaisha. Ia memandang ke arah meja belajarnya, tempat foto mereka berdua saat masih bersama terpajang.
"Salah gue apa lagi, sih?" gumamnya frustrasi. "Gue udah minta maaf. Gue udah nyoba berubah. Tapi kenapa dia masih kayak gitu?"
Tiba-tiba pintu kamar Ardan terbuka, mendatangkan farel dengan wajah tak berdosa nya itu.
"Lagi galau toh mas?"
Ardan berdecak kesal, "kalo masuk kamar orang, ketuk dulu pintu bisa? Udah gue kasih tau juga".
Farel tetap tak peduli omongannya Ardan, ia langsung merebahkan tubuhnya di kasur milik Ardan.
"Bener kan dugaan gue! Lo pasti lagi galau".
"Enggak, kok," jawab Ardan singkat, meski nada suaranya jelas mengatakan sebaliknya.
"Udahlah, ngaku aja. Nih ya, gue cuma mau bilang, kalau Zaisha bilang butuh waktu, ya kasih dia waktu. Jangan lo paksa. Semakin lo paksa, semakin dia mundur. Kalo dia udah mundur, gue jamin Lo bakalan gila sih"
Ardan terdiam mendengar saran sahabatnya itu. "Gue takut kalau gue kasih dia waktu lama, dia malah makin jauh dan ga kasih gue harapan apa-apa"
Farel mendesah kesal, "Lo cuma punya dua pilihan, Dan. Sabar dan buktiin, atau Lo nyerah dan move on. Tapi gue yakin sih lo gak akan pilih yang kedua."
Ardan tetap diam mencerna semua kata-kata farel. Yang di bilang farel ada benarnya. Ia harus sabar dan buktiin kalo dia bisa buat nunggu zaisha berpikir.
"Yang di omongin lu ada benernya juga. Jadi gue harus sabar ya, terus buktiin juga"
"Nah iya itu. Terus lo juga harus terus nunjukin ke dia kalau lo itu layak dapat kesempatan kedua. Tapi jangan kayak maksa gitu" Ucap farel menambahkan.
"Iya iya gue tau kok. Gue juga paham sama semua kata kata mutiara Lo itu."
"Yee lu mah gue kasih saran juga bukannya bilang terimakasih kek. Dah lah daripada Ngebuang waktu lo ngegalau di kamar gini, mending kita latihan basket" ajak farel menyemangatinya.
Ardan tersenyum tipis. "Thanks, bro. Lo emang ngeselin, tapi kadang lo bener."
"Enak aja gue ngeselin. Gue itu anaknya jenius dan tidak sombong" ucapnya bangga.
"Iya iya serah lu dah. Yuk katanya ngajak latihan"
Farel tertawa dan beranjak dari duduknya untuk mengikuti Ardan menuju lapangan.
🐰🐰🐰
Malam pun tiba, Zaisha berjalan pulang dengan langkah berat. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya. Pikirannya penuh oleh masa lalu, saat-saat bahagia bersama Ardan, dan saat-saat menyakitkan ketika kebenaran tentang yang dilakukan Ardan itu terungkap.
Saat ia sampai di rumah, ibunya menyambutnya di ruang tamu. "Kamu kok kelihatan murung, sha?" tanya ibunya lembut.
Zaisha tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Gak apa apa, Mah. Cuma capek aja."
Namun, ibunya mengenal Zaisha terlalu baik. "Kalau ada yang mau diceritain, bilang ya, Mama selalu ada buat kamu"
Zaisha mengangguk tersenyum tipis, "Iya Mah. Makasih," jawabnya sebelum masuk ke kamarnya.
Di dalam kamar, Zaisha langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia memandang langit-langit, mencoba merangkai jawabannya sendiri.
"Kenapa gue masih ragu ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia pun terbangun, membuka laci mejanya dan menemukan sebuah foto lama mereka berdua, terselip di antara buku-buku lamanya. Dalam foto itu, mereka terlihat bahagia, tertawa bersama di sebuah taman.
Zaisha tersenyum kecil, tetapi air matanya mulai mengalir. Ia menyeka pipinya cepat-cepat, merasa bodoh karena masih terpengaruh oleh kenangan itu.
"Ternyata kita pernah sebahagia ini ya" gumamnya, menatap foto itu sekali lagi sebelum menyimpannya kembali di laci.
Ia memutuskan untuk menulis sesuatu di buku catatannya, berharap kata-kata bisa membantu menjernihkan pikirannya.
📝Ardan mungkin berubah, tapi aku gak bisa menghapus apa yang udah terjadi. Luka itu masih ada, dan aku gak tau apakah aku sanggup mempercayainya lagi atau tidak. Tapi di sisi lain, aku juga gak bisa bohong kalau aku masih peduli sama dia. Mungkin ini bukan soal dia lagi, tapi soal, apakah aku bisa memaafkan diri aku sendiri karena pernah percaya sama dia?
Zaisha menutup bukunya, merasa sedikit lega setelah menulis itu. Namun, hatinya tetap penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Ponselnya bergetar, menunjukkan pesan dari Reina.
✉️ Sha, lo gak sendirian. Kalau mau cerita, cerita aja. Gue, Dyara, sama Naureen ada buat lo. Jangan simpen semuanya sendiri, ya.
Zaisha tersenyum membaca pesan itu. Ia tahu teman-temannya benar-benar peduli. Namun, ada hal yang bahkan mereka tidak bisa pahami. Rasa sakit yang ia rasakan ketika kepercayaannya dihancurkan.
🐰🐰🐰
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
ARZA
Novela Juvenil"Ardan! Kita putus." "Putusnya jangan lama - lama. Besok atau lusa kita balikan lagi." - Nama nya Ardan gracio . Dia emang suka gonta ganti cewek padahal dia punya cewe. Cantik pula. Dan dia Zaisha lexa clairine . Tapi seorang ardan tetap akan mempe...
