Aku membuka pintu cafe dan mulai mencari spot terenak untuk duduk bersama Vano. Namun saat aku sedang asyik mencari, aku sudah melihat Vano duduk di spot dekat jendela.
Spot yang cukup bagus, pikirku.
Aku mulai berjalan menghampiri Vano dengan menahan perasaan sakit saat melihatnya.
"Yes gue dateng duluan" ujarnya sambil berteriak senang.
Tak lama, pelayan pun datang dan aku hanya memesan segelas ice cream milk tea disana. Setelah pelayan tersebut pergi, akupun memulai pembicaraan dengan Vano.
"Sebenernya, ada yang pengen gue omongin". Jantungku berdetak lebih kencang lagi.
Aku tak tau apakah aku dapat menahan air mataku saat membicarakannya.
"Yaudah, apa?" tanya Vano dengan wajah penasaran. Saat aku ingin membuka mulut, pelayan tadi kembali untuk mengantarkan minuman yang kami pesan tadi.
"Terima kasih" ujarku.
"Jadi sebenernya apa?" tanya Vano kembali.
"maksudnya?".
"apa yang mau lo omongin?".
Deg. Sakit sebenarnya mencoba mengatakan sesuatu sambil menahan air mata jatuh dibalik kelopak mataku.
"Gue mau lo jujur van sama gue. sebenernya waktu lo jalan ke kokas itu lo jalan sama siapa?".
Vano hanya terdiam. Seketika kemudian ia menjawab
"Sama mama kok brie. emang kenapa tumben nanya gituan?".
Tanpa kusadari air matakupun jatuh.
"Brie? kenapa? kok nangis?".
"Gue mau lo jujur van sama gue" ujarku sambil berusaha tersenyum.
"Lo ke kokas sama shella kan? jujur van. percuma kita jalanin semuanya hampir 2 tahun kalo ternyata masalah kayak gini aja lo boong sama gue".
Air mataku tak dapat dibendung lagi.
"Brie... maaf" ujar Vano memasang muka sedih.
"lo pikir segampang itu bilang maaf? berapa kali dalam hampir 2 tahun ini lo minta maaf dan ngulangin kesalahan yang sama? oh, maaf maksud gue minta maaf dan berbuat kesalahan yang tambah besar? berapa kali? ratusan kah? ribuan kah?".
"Selama ini gue udah ngasih kepercayaan yang besar banget sama lo van. apa ini balesan lo buat semuanya? gue gak se-bego yang lo kira kok van".
Vano tak bisa menjawab semua pertanyaanku. Ia hanya memandangi secangkir kopi khas cafe ini didepannya.
Setelah sekian menit hening, akhirnya Vano membuka suaranya.
"Maaf brie, gue udah salah gunain semua kepercayaan lo. iyaa gue ngaku gue jalan sama shella. tapi gaada apaapa kok gue cuma nemenin dia nyari buku".
"kenapa gak bilang dulu sama gue? kenapa harus boong sama gue?" ujarku sambil menangis.
"Yaa maaf brie. gue tau gue salah....."
Seketika air mata Vano pun ikut menetes.
"Gue gabisa liat lo nangis. maaf" ucapnya seraya memelukku tanpa mempedulikan orang disekitar kami.
"Gue sayang lo brie".
Gue sayang lo juga van, ujarku dalam hati.
"Tapi van, maaf mungkin kita harus break selama beberapa hari. maaf juga".
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashlight
Teen FictionDisaat keterpurukan menimpanya, Shabrienna Variezsa hampir kehilangan jati dirinya. Ia terus menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Hingga ia bertemu dengan Samudera, cowok paling dingin yang menjadi salah satu "most wanted guy" disekolahnya...