"Shabrienna? Udah siap belom? Udah jam berapa ini sayang" teriak Mama ku dari ruang tamu.
"Iya maa bentar dikit lagi" jawabku.
Hari ini adalah hari graduationku di SMA Harapan Indah. Tak terasa sudah dua tahun berlalu sejak kepergian Devano. Sekarang aku sudah lulus dan akan melanjutkan kuliah di Jerman, tempat Azhar pergi dulu.
"Udah ma Brienna udah siap kok" kataku saat sampai ditangga paling bawah.
Pak Jaja, supir baru mamaku menarik koperku. Aku membawa koper karena setelah graduation, aku akan langsung menuju bandara. Aku akan terbang ke Jerman malam ini.
Mama bergegas menuju mobil saat aku berhenti didepan sebuah foto yang berada dirumahku. Fotoku, Azhar, dan Devano. Aku tersenyum dan mengambil foto itu dan memasukkannya kedalam tasku.
**********
Lagu Gaudeamus Igitur terdengar disetiap penjuru ruangan. Nama-nama murid SMA Harapan Indah kelas 12 pun mulai dipanggil satu per satu. Aku duduk disebelah Naya dan pacarnya barunya, Pratama.
"Brie?" panggil Naya.
"Ehiya kenapa Nay?"
"Nanti kan lo bakal kuliah di Jerman. Terus nanti kita bakal tetep bisa main kayak biasa lagi gak?" ujar Naya dengan air mata yang sudah mulai berlinang.
"Bisa kok. Kalo ada waktu, gue pasti bakal ke Indonesia. Dan bakal langsung nyari lo. Asal lo gak susah dihubungin aja" jawabku dengan sok santai.
Sejujurnya aku sangat tidak ingin kembali lagi kesini. Aku ingin melupakan semua kejadian yang ada disini. Namun semuanya begitu banyak. Dan sangat tidak mungkin aku lupakan.
Naya sudah tidak mampu menampung air matanya. Terlebih ketika namaku dipanggil untuk segera naik ke atas panggung.
Aku berjalan menuju panggung dan menemukan seseorang duduk terdiam sambil melihat kearahku. Azhar. Aku segera mengalihkan pandangan dan terus berjalan hingga menaiki panggung.
Setelah selesai, aku langsung berjalan ke arah tempat yang tadi aku duduki di samping Naya dan Pratama. Namun sekarang ada Zhahira, Najwa, Gita, dan Rhava juga yang berkumpul disitu. Tanpa menunggu waktu lagi, Naya langsung memelukku diikuti dengan yang lain.
"Brie sumpah anjir gue sedih banget. Jahat banget sih lo ninggalin kita semua disini gitu aja. Gaikhlas sumpah gue" ujar Gita kepadaku.
"Tenang aja, gue pasti main-main kesini kok" jawabku menenangkan.
"Yaa tetep aja pasti ada yang beda" tambah Najwa.
"Yaudah sini peluk dulu dong cimit cimitku"
Mereka memelukku dengan sangat erat. Setelah berpamitan kepada semuanya aku langsung izin untuk meninggalkan acara terlebih dahulu karena pesawat yang akan aku tumpangi harus take off pukul 14.00 siang nanti.
Namun bukannya pergi ke bandara, aku malah menuju ke Taman Pemakaman Umum. Ya, aku ingin berpamitan dengan satu orang lagi.
Aku berjalan menuju sebuah makam dibawah pohon rindang di bagian timur Taman Pemakaman. Dan saat melihat makam berkeramik pualam dan berrumput sangat hijau, aku duduk dan mulai menyiramnya dengan air mawar yang ku bawa.
Segala macam doa aku panjatkan di hadapan makam ini. Terutama doa yang meminta agar ia bisa kembali disini, menemaniku.
"Hai, Van. Apa kabar kamu disana? Duh sumpah aku kangen banget tau ga sih sama kamu. Oh iya Van, aku minta maaf yaa sebulan terakhir ini aku gak pernah kesini. Soalnya aku lagi tes buat masuk Ghoete University di Jerman yang selama ini aku bilang sama kamu. Dan kamu tau gak? Aku keterima lohh!
Dan aku bakal tinggal di Jerman buat beberapa waktu sampe kuliah aku selesai. Aku berharap banget kamu ada disini sekarang, Van. Aku mau kamu ikut ngerasain senengnya aku dan aku mau kita berangkat bareng kesana. Karena kalo kayak gini, tandanya aku bakal ninggalin kamu sendirian disini sampe aku balik ke Indonesia" kataku.
Air mataku sudah tak dapat terbendung lagi. Kerinduan yang selama ini tertahan, dan kerinduan yang akan datangpun seraya bersatu dan menghantamku saat ini. Aku menangis hingga tak ada sepatah katapun yang bisa ku ungkapkan lagi.
"Gue disini bakal terus jagain Vano buat lo kok, Brie" ujar suatu suara yang tiba-tiba terdengar dibelakangku.
"Azhar?"
"Akhirnya kita bisa ngumpul bertiga lagi ya kayak dulu. Meskipun sekarang Vano udah beda dunia sama kita. Tapi gue yakin Vano pasti lagi disini bareng kita" ucapnya.
Aku hanya menatap lurus ke arah batu nisan yang menuliskan nama Devano Arnanta di atasnya.
"Maafin gue Brie. Andai gue gak ngerusakin hubungan lo sama Vano, semuanya gak akan kayak gini. Gue emang egois banget. Cuma karena gue gamau ngelepasin lo dan ngeliat lo bahagia gue jadi ngorbanin perasaan lo dan ngorbanin sahabat gue sendiri..."
"Shut the fuck up Zhar"
"Maaf banget. Kalo gue jujur ke lo dari awal kalo gue itu Azhar pasti semuanya gak bakal kayak gini..."
Tanpa memikirkan apapun lagi aku langsung memeluk Azhar. Aku memeluknya dengan sangat erat. Dua tahun ini aku merasa aku tidak memiliki siapasiapa lagi. Aku merasa bahwa tidak ada lagi yang dapat membangunkan kenangan masa laluku.
Dua tahun ini terasa berat. Dua tahun ini pula aku tidak pernah berinteraksi lagi dengan Azhar. Namun sekarang, dia disini.
"Diem Zhar gue gamau denger kata-kata penyesalan apapun lagi dari lo. Selama dua tahun ini gue ngerasa kalo gue udah gak punya siapa-siapa lagi. Tapi sekarang gue baru sadar, gue punya lo. Dan bakal selalu punya lo. Lo tinggal satu-satu nya orang yang bisa ngebangkitin kenangan masa lalu gue. Tinggal lo satu-satu nya orang yang gue sayang" ujarku sambil terus memeluknya.
Azhar mengecup rambutku dan membalas pelukanku.
"Yaudah udah gausah nangis lagi. Mending sekarang lo berangkat. Daripada ketinggalan pesawat kan galucu"
Aku menatapnya sekali lagi.
"Gue bakal selalu disini, nunggu lo balik" tambahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flashlight
Teen FictionDisaat keterpurukan menimpanya, Shabrienna Variezsa hampir kehilangan jati dirinya. Ia terus menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Hingga ia bertemu dengan Samudera, cowok paling dingin yang menjadi salah satu "most wanted guy" disekolahnya...