I. Aku, Kamu, dan "Kita" Yang Tidak Bisa Menjadi Satu

6.8K 241 44
                                    

Untuk seseorang yang disebut Kamu.

***

Hei, Kamu.

Aku mendengarkanmu.

Kamu selalu datang pada-waktu-yang-tak-perlu-kusebutkan-kapan menaruh tasmu di bangku dan keluar lagi. Awalnya, aku bertanya-tanya apa yang kamu cari atau kamu lakukan diluar tapi akhirnya aku mengerti kalau kamu seorang muslim yang taat dan kamu sebagai hambaNya hanya menjalankan apa yang sudah diperintahkanNya tanpa dengan sengaja melewatkannya. Setelah sekitar lima menit, kamu kembali dengan wajah yang lebih segar, mungkin karena air wudhumu itu, lalu duduk di bangkumu dan menunggu temanmu yang lain untuk datang. Kamu tidak pernah mengajakku mengobrol cuma untuk basa-basi, aku mulai mencapmu sebagai seseorang yang to the point atau mungkin saja aku memang bukan tipe orang yang asyik untuk diajak mengobrol. 

Tapi itu yang membuatku tertarik padamu.

Hei, Kamu.

Aku menatapmu.

Kamu selalu sibuk dengan laptopmu, entah mengerjakan apa. Dari dulu, aku ingin bertanya hal ini padamu; apa sih yang membuat laptopmu itu lebih menarik daripada dunia nyata? Seperti aku. Haha. Ya, aku. Matamu yang melekat ke layar monitor tak kunjung menyadari bahwa aku sedang menatapmu... atau mungkin, kamu pura-pura tidak tahu? Asal kamu tahu saja, dalam jarak sekian meter darimu, terkadang aku merasa salah tingkah. Masih dengan kamu yang sibuk dengan laptopmu dan aku yang sibuk dengan seorang teman di sampingku, membicarakan tentang turkish delight dan merry-go-round, sungguh topik yang aneh. Maunya aku, kamu memulai pembicaraan duluan antara kita, terserah tentang apa tapi akan kupastikan kalau aku akan menatapmu lurus-lurus tepat di matamu. Mengirim sinyal bahwa; "Hei, ibuku bilang aku harus menatap lawan bicaraku dan dengan begitu ia akan merasa bahwa aku mengharaginya,". Aku tidak hanya menghargaimu, kawan. Aku berharap kamu juga menatapku dengan cara yang sama.

Tapi itu yang membuatku penasaran padamu.

Hei, Kamu.

Aku mengawasimu.

Kamu selalu duduk di dekat pintu ruangan itu, dan ketika aku masuk ke dalamnya saat seseorang yang satu ruangan denganmu itu melihatku dan menyerukan nama panggilanku yang cukup asing bagimu, kepalamu akan berputar mengarah ke pintu dan kamu langsung menatapku begitu saja dan tersenyum miring. Mungkin kamu bingung mengapa mereka memanggilku begitu? Ah, pencipta nama itu memang sialan. Tapi aku bersyukur karena pada akhirnya, kamu tersenyum padaku. Bahkan pada saat aku tidak melakukan apapun. Kamu tidak tahu saja kalau dalam hati, aku sedang meloncat-loncat bahagia. Pernah suatu kali, kamu menanyakan hal terbodoh yang membuat teman-temanmu dan aku, ya, aku ada disitu bersamamu di ruangan yang sama dalam konteks yang berbeda, tertawa terbahak-bahak mendengar kepolosanmu. Kamu polos? Aku mual mengingatnya tapi tak pernah bosan untuk membayangkan wajahmu yang malu dan sedikit menyesal telah mengajukan pertanyaan itu yang sama saja dengan menjatuhkan harga dirimu di depan kami semua. Dan aku. Oh, aku belum berani menerka-nerka isi otakmu.

Tapi itu yang membuatku ingin lebih mengenalmu.

Hei, Kamu.

Aku memperhatikanmu.

Kamu selalu mengenakan polo shirt abu-abu bergaris hitam itu. Hmm, aku sering melihatnya, mungkin lebih dari tiga-empat kali? Kamu juga baru mencukur rambutmu, bukan? Kamu terlihat lebih rapih dan... menawan. Sungguh. Aku semakin suka melihatmu, jangan salahkan diriku ini, suruh siapa makhluk memikat sepertimu menghirup udara yang sama denganku? Tidak, aku tidak menyalahkanmu. Aku hanya berharap, kamu sehat selalu. Jadi, aku masih bisa berlama-lama mengagumimu. Kamu tahu? Setiap sebelum tidur, aku selalu tersenyum saat pikiranku melayang ke padamu. Dan bagaimana skenario yang telah kususun sedemikian rupa, seperti; aku akan menyobek sebuah kertas di lembar terakhir buku tulisku lalu menuliskan kata demi kata secara singkat, padat dan jelas mengenai perasaanku padamu. Persetan dengan cinta monyet, yang kutahu aku suka padamu. Dan itu telah tertuang dalam selembar kertas sobekan dengan pena bertinta hitam yang aku remas-remas sampai berupa gumpalan bulat yang akan kuberikan padamu kalau-kalau aku bertemu denganmu. Semoga saja aku tidak bertemu denganmu. Sumpah, aku malu! Tapi aku tidak malu dengan perasaanku, hanya malu dengan tanggapanmu nantinya. Juga takut. Cuma satu pesanku untukmu setelah itu; jangan pergi, jangan menjauhiku karena perasaanku. Tetaplah jadi Kamu yang kukenal. Tidak. Tetaplah jadi Kamu yang belum sepenuhnya kukenal. Kalau perasaan kita sama, aku hanya perlu menunggu responmu. Kalau berbeda, ya... aku terima. Itu resiko mencintai seseorang, bukan? Tahan sebentar... aku mencintaimu? Ah, ternyata bukan hanya sekedar suka rupanya. Kamu harus bertanggung jawab karena kamu telah benar-benar memikatku!

Tapi itu yang membuatku tak akan pernah bisa membencimu.

Hei, Kamu.

Aku cemburu.

Kamu selalu dikelilingi teman wanitamu, dan tak memberikan celah sedikitpun padaku. Yah, rencanaku waktu itu gagal, karena Tuhan sepertinya belum mau menunjukanku isi hatiku yang sesungguhnya padamu. Tuhan masih sayang padaku dan Ia hanya ingin aku memujaNya saja, bukan kamu apalagi band-band favoritku itu. Menunggu memang membosankan. Ditambah frekuensi pertemuanku denganmu kian menipis. Aku sempat mendengar isu-isu yang beredar kalau banyak adik kelasmu yang juga menyukaimu. Sial, sainganku makin banyak. Aku tidak puas hanya melihatmu saja, aku ingin mendengarmu memanggilku "Sayang" atau apalah, itu manis, bukan? Setidaknya, aku sudah bisa menebak jawaban atas semua pertanyaanku selama ini. Mengapa kamu suka warna hijau, mengapa susah sekali mendapatkan nomor ponselmu, mengapa kamu jarang sekali online di Twitter, mengapa wawasanmu sangat luas atau mengapa aku tidak pernah melihatmu selama upacara hari Senin. Kita, aku ingin mendengar kata itu keluar dari bibirmu. Tolong, katakanlah yang sebenarnya agar aku bisa berhenti menunggumu. Dan tak gusar seperti ini terus-menerus.

Tapi, aku memang nyatanya harus berhenti karena ada orang lain yang mencintaiku lebih dari aku mencintaimu.

22 April 2013,

Dicintai itu lebih baik daripada mencintai yang tak pasti.

Semoga kamu bahagia. :-)

***

A/N: HAHAHAHAHA I can't believe I just wrote this wtf. Any feedbacks? I'd love to hear some.

L'Éternité et AprésTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang