XXVII. Bisakah Rindu Kita Menjadi Temu?

3K 120 13
                                    

Hatiku memang tidak akan pernah rela untuk melepasmu.

Aku masih menyayangimu, bahkan sampai di titik ini.

Tapi kamu sama sekali tak mau tahu.

Seharusnya aku bisa melupakanmu. Sebab di waktu lampau, kata kita sudah terhapus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi khusus milik kita berdua, bukan? Namun kamu juga sepertinya perlu tahu kalau kata "seharusnya" berbanding terbalik dengan kenyataan yang kualami. Hingga pada fakta terkecil sekalipun, dalam hatiku masih terbesit harapan untuk kita bersatu kembali.

Tuhan memang tahu betul kelemahanku, yaitu kamu. Haha. Ya, masih selalu kamu dan jangan tanya kenapa karena kamu sudah tahu jawabannya.

Aku belum sanggup melepasmu.

Sempat kuberpikir apakah akan menjadi terlalu istimewa jika namaku kausebut dalam doamu? Perlu menghabiskan berapa ramuan rindu untuk melipat jemarimu yang sela-selanya dulu merupakan milikku?

Padahal kamu merupakan satu-satunya orang yang membuatku percaya kalau sebuah ketukan mampu meruntuhkan dinding pertahanan yang kubuat tinggi-tinggi.

Semudah itukah kau pergi setelah memporak porandakan dinding itu?

Dan, mau dibawa kemanakah jantungku yang juga kau bawa dalam genggamanmu?

Ini tentang kesetaraan perasaan. Kalau saja kamu mau sedikit melirik ke belakang, aku sedang mengejar kereta monorel supercepat yang bahkan cuma ilusi semata. Sementara kamu terduduk manis dalam salah satu bangku kereta imajiner tersebut. Kamu dan ilusi kerap menghantuiku sejak perpisahan itu terjadi.

Hei, salahkah aku jika aku ingin mengantongi bahagia yang dulu sempat jadi milikku lagi?

Semoga saja kamu membaca tulisanku ini dan bisa melihati kesungguhan yang ada pada diriku. Sebab rasa ini tak cepat datang apalagi berlalu.

L'Éternité et AprésTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang