XVIII. Sincerely, Masih Perlukah Aku Mengerjarmu?

3.2K 132 4
                                    

Tidak ada kencan berdua.

Tidak ada gandengan tangan.

Tidak ada pelukan.

Tidak ada ciuman.

Tidak ada hal-hal lainnya yang menunjukkan bahwa aku miliknya dan dia milikku.

Aku masih ingat. Waktu dimana aku berlari sekuat tenaga mengejarmu, menangis tersedu-sedu, tak beralas kaki, tak merasakan nyeri kerikil tajam dari jalanan aspal yang menusuk telapak kakiku yang telanjang. Aku menyerah berhenti di tanjakan, berteriak memanggilmu, tapi kau tetap melaju dengan mobil yang dikendarai sopirmu. Dan kamu membayarnya dengan sebuah majalah Donald Bebek edisi terbaru besoknya.

Aku masih ingat. Waktu dimana aku berlari sekuat tenaga mengejarmu, sambil menenteng kedua sepatu hitamku selepas pulang sekolah, kali itu aku memakai kaus kaki putih, masih merasakan batu-batu kerikil yang ujungnya menancap-nancap di telapak kakiku, sakit. Aku menyerah dan berhenti di tanjakan,  berteriak menyebut namamu, tapi mobil yang membawamu terlanjur menghilang dari pandanganku. Dan kamu membayarnya dengan sebuah boneka Barbie yang sangat kugemari besoknya.

Aku masih ingat. Waktu dimana aku berlari sekuat tenaga mengejarmu, lupa kalau aku bahkan belum membayar makan siangku di kafe itu karena aku melihat mobilmu melintas di depan mataku, kali itu aku memakai sepatu hak tinggi yang akhirnya berujung patah dengan kaki kiriku yang keseleo, tidak mendapatkan apa-apa kecuali teguran halus dari pelayan kafe yang ikut mengejar di belakangku. Dan kamu membayarnya dengan mengurut kakiku menggunakan minyak aromaterapi besoknya.

Aku masih ingat. Waktu dimana aku berlari sekuat tenaga mengejarmu, hendak mengembalikan jaket yang kamu berikan padaku agar aku tidak kehujanan, meski kamu harus merelakan diri untuk menahan dingin yang menusuk dan kantuk yang begitu menyiksa di pinggir jalan, memastikanku pulang dengan selamat menggunakan taksi, tapi kamu terlanjur menghilang di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Dan kamu membayarnya dengan satu panggilan telepon yang kuterima di wartel dekat rumah besoknya.

Aku masih ingat. Waktu dimana aku berlari sekuat tenaga mengejarmu, ketika secara tak sengaja melihatmu berjalan dengan wanita lain, dia tinggi semampai, rambutnya yang indah panjang sepinggang dan yang paling penting diatas segalanya, kamu melingkarkan tanganmu di belakang punggungnya seolah berkata pada semua orang yang melihat bahwa kalian merupakan sepasang kekasih, kamu tidak tahu betapa sulitnya menahan tangis saat itu. Dan kamu membayarnya dengan sebuah undangan pernikahanmu yang akan dilangsungkan di salah satu hotel termewah di kota dua bulan kemudian.

Mencintai bukan berarti harus memiliki. Tapi memiliki seseorang, harus benar-benar mencintainya.

Aku telah melihat semuanya, dan terima kasih juga kepada dia sudah mengajariku caranya melepaskan dan rela menungguku sampai benar-benar pulih dari luka yang aku sendiri perbuat.

"Apakah kamu menyesal?" tanya dia, yang menemaniku ke acara resepsi pernikahanmu.

"Tidak sama sekali." jawabku dengan suara tegas, sambil menggenggam hatinya lebih erat lagi.

L'Éternité et AprésTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang