Louis Tomlinson; "Last One Standing"

3.4K 167 40
                                    

A/N: Tiba-tiba terlintas di otak buat bikin cerita macam ini, bukan challenge siapa-siapa. Dan beware! Ya... beware aja sih.

ENJOY!

***

Ini peringatan pertamaku dan jika kau masih mendekati SUAMIKU aku tak akan segan-segan untuk mengotorkan tanganku sendiri demi bisa menghancurkan hidupmu. Camkan itu.

Darahku berdesir saat membaca pesan masuk yang baru kuterima semenit yang lalu. Dari mana wanita itu tahu nomor ponselku? Apakah dia...?

"Louis," aku menggoyangkan bahu lelaki yang ada di sampingku. Dia menggeliat sebentar sebelum membuka matanya dengan malas.

"Ada apa, Sayang?"

"Apakah Eleanor tahu tentang kita?" tanyaku ragu.

Louis mengerutkan dahinya lalu tertawa. "Kau ini bicara apa, sih? Eleanor tidak akan pernah tahu tentang kita, Bella. Dia terlalu sibuk bekerja siang dan malam, sehingga mana sempat dia memikirkan bersama siapakah suaminya sekarang. Tapi... apa yang membuatmu berpikir seperti itu?"

Aku mendesah keras. "Aku... aku hanya khawatir saja kalau-kalau hubungan kita terbongkar."

Aku memutuskan untuk tidak menyinggung soal pesan gelap tersebut. Siapa tahu Louis benar dan pengirim pesan itu hanya salah sambung? Aku terus berspekulasi sampai Louis menepuk dada kanannya, menyuruhku untuk merebahkan kepalaku di sana, dan aku pun melakukannya. Dia mengelus rambutku lembut. "Tak usah dipikirkan, hal itu tidak akan pernah terjadi. Selama tiga tahun ini, kita selalu bermain dengan sangat mulus, bukan?"

Mau tak mau, aku mengangguk mengiyakan.

*

Terdengar suara bel yang benar-benar mengganggu, seolah si Tamu di depan pintu rumahku sangatlah tidak sabar menunggu pintu dibuka dan harus bertemu dengan si Pemilik Rumah secepat mungkin.

"Iya, sabar! Sabar!" ucapku dari dalam sambil berlari menuju pintu. Aku mengintip dari lubang pintu rumahku yang dibelikan oleh Louis, seorang wanita muda yang aku kenal dengan baik wajahnya dan segala tentangnya berdiri di depan sana. Tanpa aba-aba, dia menendang pintu itu dengan kesal sambil mendecak, membuatku cukup terperanjat.

Bagaimana bisa Eleanor mengetahui tempat tinggalku? Aku mengatur nafas setenang mungkin saat pintu terbuka, menampakkan sosok wanita berambut panjang menatapku garang.

Aku menyeringai. "Maaf, Anda sedang mencari siapa, ya?"

Eleanor mendorong tubuhku kasar. "Jangan dekati suamiku lagi, you bitch!"

"Memangnya kau siapa?" aku menantangnya.

"Jangan pura-pura bodoh! Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya dan kau menganggap ancamanku remeh!" bentaknya. "Kau benar-benar tidak tahu malu! Dasar perebut suami orang!"

Aku memutar kedua bola mataku. "Bukan salahku jika Louis lebih memilih menghabiskan malam bersamaku dibanding bersama istrinya sendiri." kataku menusuk sambil menekankan nada suaraku pada kata 'istrinya'.

"Keparat! Akan kubunuh kau!" dia mengeluarkan sebuah pisau tajam dari balik punggungnya.

*

Pagi itu dari dapur, aku melirik Louis yang duduk dengan gusar. Sesekali, dia akan bangkit dan berjalan mondar-mandir di depan televisi dengan ponsel yang melekat di telinganya, mengomel panjang lebar dengan orang yang diteleponnya lalu kembali duduk, mengarahkan pandangannya ke layar teve meski pikirannya kerap melayang ke tempat lain.

"Kau baik-baik saja, Lou?" tanyaku sambil merapikan dasi biru garis-garis putih yang dipakainya.

"Tidak... uh, ya... begitulah." katanya meracau. Dia melonggarkan sedikit kerah bajunya dan mengenakan jam tangannya. "Ada masalah sedikit di kantor. Biasalah."

Aku tersenyum dalam hati. Aku tahu kalau sebenarnya dia cemas mencari keberadaan istrinya yang telah menghilang selama dua hari ini. Sayang sekali, Louis tidak akan pernah menemukan istrinya ke mana pun dia mencari. Karena pasalnya, istrinya sudah mati.

Louis memotong daging kecil-kecil lalu memasukkan potongan demi potongan ke dalam mulutnya, untuk memastikan kalau indra pengecap rasanya tidaklah salah. Dia menjulurkan lidahnya dengan wajah masam seakan tidak puas dengan apa yang baru saja dimakannya.

"Ini bacon?" tanyanya. "Bacon yang biasa kaumasak?"

Aku tersenyum sambil mengangguk. "Kenapa?"

Louis mendorong piringnya. "Lebih baik, kau membuatkanku kopi atau apalah."

Aku menuruti perkatannya dan membuatkannya kopi kesukaannya.

Kini, aku menjadi orang satu-satunya dan terakhir yang memiliki hati Louis. Dengan cara apapun akan kulakukan demi bisa mempertahankan posisi yang hanya bisa menjadi milikku tersebut.

***

A/N: Psycho, enough? *smirks*

L'Éternité et AprésTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang