[Warning: Smut... and dark Zayn - ah enggak juga sih.]
ENJOY!
***
"Halo?"
"Zaynie..." responku dengan suara bergetar.
"Clarice?" katanya menyebut namaku, ia terdengar lebih was-was. And raspy. Khas orang bangun tidur. "Kenapa kau meneleponku malam-malam begini? Are you alright?"
"I had another nightmare..." jawabku.
"Tentang... itu?" Kami sama-sama tahu apa "itu" yang dibicarakan. Aku mengangguk meski dia tak dapat melihatnya.
"Aku tidak bisa tidur kembali... aku terlalu takut..." gumamku sambil melihat sekelilingku. "Bisa kesini, Z?"
"Mm-hmm. Okay, I'm going."
Aku menyambar robe-ku yang ada di kursi sebelah tempat tidur dan memakainya.
Setengah menit kemudian, ada seseorang yang memutar kenop pintu kamarku. Siapa lagi? Tentu saja Zayn. Well... dia tinggal serumah denganku. Dia tidur tepat di kamar sebelahku.
Dan dia saudara tiriku.
Tidak usah tepuk tangan, aku sungguh tak memerlukannya.
"Clarice," Tangannya terulur, menungguku menyambutnya. "Come on, tidur di kamarku saja."
Aku bangkit berdiri.
Bukannya menggenggam tangannya, aku justru menarik lengannya yang cukup ramping itu. Namun, baru aku sadari ternyata dia memiliki lengan yang berotot. Aku bisa merasakan otot-otot yang kuat dan kokoh di bawah lapisan pakaiannya.
"Geez, Clarice," Zayn merangkulku, mengusap-usap lengan kiriku. "It's alright... I'm here now."
Aku menggeleng lemah. "I can't go back to sleep, Z. I can't... I won't."
Zayn menggiringku ke kamarnya dan dia tersenyum padaku saat kami sudah berada di teritorialnya. "Mau kunyanyikan?"
Wajahku sangat merah padam sehingga aku bahkan tidak tahu harus memandang kemana. Terakhir kali Zayn menyanyikan lagu untuk mengantarkanku tidur, things got awkward. Dan jika aku bilang awkward, itu benar-benar awkward.
Zayn mengedipkan sebelah matanya, tangannya turun ke bokongku dan dia meremasnya. "Atau... mau melanjutkan yang tempo hari itu?"
Pipiku yang sudah panas menjadi lebih panas lagi dari sebelumnya. Kau tidak percaya? Tulang punggungku bahkan menghantarkan cukup banyak listrik untuk memberi daya sebuah kota.
Dalam gerakan lambat, Zayn menutup pintu dan menghampiriku lagi yang masih berdiri di tengah-tengah kamarnya.
Dia menatapku lama sebelum akhirnya berbisik, "Since I can't sleep either, bagaimana kalau kita mencoba gaya baru?"
Aku menelan ludah.
Zayn tertawa pendek. Dan tanpa bertanya padaku lagi, tangannya membuka robe-ku dengan cepat. Matanya melebar. Seulas senyum jahil bermain-main di sudut bibirnya.
"I have a thing for those who wear satin dress, y'know?" ujarnya masih dalam sebuah bisikan. Senyumnya benar-benar licik.
Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, atau mengapa dia melakukannya. Tapi, jujur, kurasa aku sedikit menyukainya. Oke, tidak sedikit tapi banyak...jadi, aku akan benahi kata-kataku: aku sangat menyukainya. Aku melihat dia berjalan ke arah ranjang, menggandengku dan dalam detik kedua, dia menciumku. Bibirnya menekan bibirku sendiri, lalu dia menggigit bibir bagian bawahku, asking for entrance. Dia berhenti sebentar, menidurkanku di atas bantal, dan tangannya mulai bergerak tak terkontrol lagi. Dia meraba perutku sambil terus melumat bibirku tanpa memberikan sedikit pun ruang untukku bernafas.
"Sebentar," kataku, melepaskan diri dari ciumannya. "Boundaries, kita perlu batas-batas disini."
Dia memutar matanya sembari membasahi bibirnya. Dan aku merasakan tangannya sedang mencoba melepaskan kaitan di belakang punggungku setelah berhasil melemparkan dress yang aku kenakan entah kemana.
"Yeah, but not tonight."
Tolong jangan bilang-bilang pada orangtua kami kalau kami saling menyukai.
Ralat: membutuhkan tubuh satu sama lainnya.
***
A/N: Bukan incest kok bukan kan gak sedarah^^ "WOO BELLA PARAH"
KAMU SEDANG MEMBACA
L'Éternité et Aprés
Short Story❝I love you, I adore you, I want you, I need you, I miss you, I hate you...❞ What do those words simply mean to you?