Oliver Sinatria menatap pria paruh baya yang masih terlihat bugar di usianya yang menginjak enam puluh satu tahun. Dia menebak, wajah ayahnya pasti mirip dengan Hermawan. Mungkin saja. Oliver hanya bisa mengira-ngira karena sang ayah sudah meninggal sejak dia berumur dua tahun.
"Oliver benar-benar tidak mau ikut Opa tinggal di Inggris?" tanya Hermawan setelah menyesap kopi hitamnya.
Remaja bermata biru itu menggeleng. "Nggak mau, Pa," tolaknya. "Aku suka tinggal di Indo. Bentar lagi kan mau ujian semester. Oliver pengin konsen sekolah di sini aja. Toh tinggal setahun lagi di SMA," terangnya.
Hermawan terlihat mempertimbangkan lalu menatap sang cucu kesayangan dengan ekspresi hangat. "Baiklah, Oliver. Jika itu keinginanmu, jadilah anak yang baik di sini, ya. Jangan merepotkan pamanmu."
"Ya, Pa. Selama ini, Oliver nggak pernah bikin rusuh hidupnya Om Zidan, kok." Oliver mengatakannya dengan nada malas.
"Aku pegang omonganmu," balas Zidan Aurelio Hermawan yang sedari tadi diam mendengarkan percakapan ayah dan keponakannya.
Mendengar hal itu, Oliver tersenyum sinis. Di Indonesia Oliver tinggal dengan Zidan. Namun, anak itu tak pernah cocok dengan pribadi pamannya yang terkesan dingin dan otoriter kepadanya.
Sementara Hermawan dapat merasakan aura permusuhan di antara keduanya. Kini ia memandang putranya dan berkata, "Zidan, Ayah tahu, bukan tugasmu untuk menjaga Oliver. Tapi ayah minta tolong, setidaknya awasi dia. Ayah sudah sediakan orang untuk mengurus kebutuhan Oliver. Ayah harap ini tidak mengganggu pekerjaanmu."
"Apa aku bisa nolak, sih, Yah?" Dokter tampan dan berkacamata itu memandang ayahnya.
Ada raut kelegaan di wajah Hermawan. "Ayah tahu, kamu memang bisa diandalkan."
"As always, 'kan?" Zidan mengajukan pertanyaan retoris lalu tersenyum mengejek pada Oliver.
Sedangkan Oliver hanya memutar mata menanggapi ucapan pamannya. Bagi remaja berambut cokelat gelap itu, Zidan tak lebih dari seorang tukang pamer. Dari penilaian Oliver, Zidan-lah yang terlalu berlebihan.
"Sudah saatnya pesawat take off," ujar Hermawan kemudian ia bangkit dari posisi duduknya, dan disusul oleh anak serta cucunya.
*
"Aku bisa pulang sendiri. Nggak perlu nebeng mobil Om," kata Oliver setelah mereka berada di pintu keluar bandara.
"Whatever," jawab Zidan acuh tak acuh lantas berlalu meninggalkan Oliver.
"Songong," umpat Oliver setelah Zidan berjalan beberapa langkah di depannya.
"I heard that!" sahut Zidan dengan nada tinggi.
Sialan! Dosa apa gue punya om rese kayak dia? Entar lo, tunggu gue dewasa, gerutu Oliver dalam hati.
Setelah mengembuskan napas kasar, Oliver bergegas mencari taksi. Ketika dia merogoh saku celana, mulutnya mengumpat lagi. Dia kesal karena lupa membawa dompet. Oliver merogoh saku lainnya dan hanya menemukan beberapa lembar uang lima ribuan. Anak laki-laku itu semakin frustrasi.
"Nelpon Reza, suruh jemput gue, deh," putusnya. Oliver merogoh saku jaketnya—bermaksud mengeluarkan ponsel.
"Tidak! Apa ini!?" Oliver bereaksi berlebihan membuat orang-orang di sekitarnya memerhatikan. Di tangan kanannya kini bukan ponsel, tetapi alat pemutar musik. Oliver menyesali keputusannya membawa Zune untuk menyumbat telinganya dari omelan Zidan. Mungkin benar kata temannya, jaman sekarang ponsel itu bagai oksigen. Oliver mengerti sekarang, mengapa Wahyu—teman sekelasnya—maniak gadget.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...