Nina menuruni tangga lalu menuju ke arah dapur. Dia mengingat setiap jalan yang dia lalui, agar dia tidak tersesat saat kembali ke kamar Oli. Nina mengagumi dapur rumah ini. Begitu besar dengan peralatan yang lengkap dan terlihat mahal. Saat berada di apartement milik Hilman—sepupuya, dia akan betah untuk masak-memasak, apalagi di sini! Mungkin seharian Nina akan berkreasi.
"Mbak? Temannya mas Oli ya?" Seorang wanita menyapanya. Dia berpakaian sederhana.
"Iya," Nina mengangguk dan tersenyum.
"Saya bik Hasna. Pembantu di rumah ini," ujar Hasna dengan ramah. Nina menaikan alisnya. Banyak sekali pembantu di rumah ini, pikirnya.
"Saya Nina, Bik. Teman Oliver," balas Nina.
"Mbak Nina butuh sesuatu?" tanya Bik Hasna
"Saya haus. Boleh minta air putih?"
"Boleh banget," jawab Hasna. Dia mengambil gelas, lalu menuang air dari dispenser. "Mari, silakan duduk!" Hasna menaruh gelas itu di meja dan menarik kursi untuk Nina.
Nina tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia duduk dan meneguk air yang diberikan oleh Hasna.
"Mas Oliver-nya tidur, mbak?" tanya Hasna. Nina mengangguk mengiyakan.
"Mbak Nina makan dulu aja ya? Udah mau jam dua belas lho."
"Saya enggak laper, bik. Makasih," tolak Nina.
"Nggak laper gimana? Sudah dari pagi di sini. Makan saja ya? Ini bibik ambilkan. Sayang kalau tidak dimakan semua masakan ini. Mas Oliver sakit, pak Zidan tidak tahu akan pulang atau tidak," ungkap bik Hasna panjang lebar.
Bibik mengambil piring, menyendok nasi dan beberapa lauk. Sesekali Nina menolak yang tidak dia suka. Sebenarnya dia lapar, hanya saja tidak berselera. Oli sakit beneran, Nina kasihan melihatnya. Melihat bik Hasna yang nyerocos terus dari tadi, Nina mengambil inisiatif untuk mencari tahu tentang keluarga Oli. Bukankah kepo tentang pacar sendiri itu harus?
"Bik, ayo makan sekalian," ajak Nina.
Bik Hasna mengibaskan tangannya. Dia duduk di depan Nina membawa gelas yang berisi teh sudah setengahnya. "Saya makan siang sekitar jam satu. Selesai masak tadi, saya makan kue dan ini nih, ngeteh."
Bibik dan Nina tertawa pelan. Dia menyuapkan makanan ke mulutnya. Rasanya sungguh enak buatan bik Hasna. Nina jadi teringat masakan ibunya.
"Enak deh masakannya," puji Nina.
"Alhamdulillah kalau Mbak suka," sahut bik Hasna.
"Bibik kerja di sini udah lama kan? Tahu dong kesukaannya Oli apaan."
"Oh ya sudah lama, sejak mas Oli bayi. Dia itu enggak suka masakan yang bumbunya kuat. Maunya sayur yang bening gitu biasanya," bik Hasna menjelaskan.
Sesuai rencana! Jika bibik tahu Oli dari bayi, pasti dia tahu tentang om-nya.
"Hemm pantesan waktu makan nasi uduk bareng saya, dia bilang keasinan," ujar Nina. Mereka berdua tertawa.
"Opa-nya Oli sering ke sini, Bik?" tanya Nina setelah menelan nasi.
"Jarang," wajah bik Hasna berubah menjadi muram, lalu dia meneruskan, "pak Her juga terluka dengan meninggalnya pak Hisyam, papanya mas Oli."
"Meninggalnya kenapa sih, bik? Saya taunya cuma nggak punya orang tua aja," tutur Nina.
Nina berusaha santai bertanya. Padahal hatinya cukup trenyuh. Makanan yang ditelannya pun terasa duri. Namun dia paksakan agar suasana ini tidak terkesan seperti introgasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...