Nina menatap malas santap siang di hadapannya. Hari ini sangat melelahkan karena banyak nasabah. Namun, rasa lelah dan laparnya menjadi tak seberapa dibanding dengan kegalauannya.
Sementara itu, Yanti sengaja menukar shift istirahat siangnya dengan Aline supaya bisa bergosip dengan Nina. Namun, melihat Nina yang manyun, Yanti jadi penasaran.
"Woi! Udah punya pacar berondong kok masih doyan bengong," tegur Yanti yang sekarang duduk di samping Nina.
"Lah emang mesti gimana?" tanya Nina tak bersemangat.
"Senyum-senyum gaje mungkin? Pan lo lagi jatuh cintah," goda Yanti.
"Apaan sih!" Nina mendengus sebal dan Yanti terkekeh geli.
"Eh cerita dong! Berondong kemaren gimana?" Yanti berbicara dengan volume suara yang bisa didengar orang-orang di sekitar mereka, membuat Nina seketika menutup mulut Yanti dengan tangannya.
"Ngomong 'berondong'-nya jangan keras-keras dong. Nanti aku dikira tante girang," tegur Nina seraya sesekali melihat orang di sekitarnya.
"Lah emang lo girang kalo deket itu berondong," goda Yanti lagi.
"Yanti ih!" Nina cemberut kesal.
Tawa Yanti meledak. "Sorry ... sorry. Sekarang cerita deh kenapa lo manyun?"
"Aku salah nggak sih deket sama Oliver?" tanya Nina dengan lemas. Tangan kanannya hanya mengaduk-aduk makanan tanpa berniat untuk menyantap.
"Alasan lo deketin dia apa?" Yanti balik bertanya. Dia menyantap makan siangnya dengan lahap, tidak seperti Nina yang kini justru mendorong piring menjauh darinya.
"Aku nggak tahu deh, Yan. Dari dulu aku selalu nurut nasehat orang tua. Sekolah yang bener, jangan kebanyakan main, udah lulus cari kerja. Buat biayain diri sendiri, kalau bisa bantu orang tua. Aku lakuin semua itu. Saat aku ketemu anak-anak SMA seperti Ara dan geng-nya, juga Oli, rasanya aku menemukan masa remajaku lagi. Ibaratnya kita nggak bisa naik komedi putar karena orang tua kita tidak mampu membeli tiketnya. Saat kita mampu membelinya dengan uang kita sendiri ternyata kita udah terlalu dewasa untuk itu." Nina mendesah lagi.
Miris dengan hidupnya. Tapi bukan berarti Nina mau menyalahkan kedua orang tuanya yang tidak mampu memberinya kehidupan yang layak, sehingga Nina tidak kehilangan masa remajanya.
"Lo bikin perumpamaan komedi putar, ok gue bisa telaah itu jadi begini. Lo pengen naik komedi putar di usia yang ya katakan saja nggak pantes naik komedi putar. Menurut gue, lo mau naik ya naik aja! Komedi putar emang bukan untuk orang dewasa, tapi bukan berarti orang dewasa tidak boleh menaikinya kan?" Yanti berhenti sejenak. Nina masih terus mendengarkan.
"Nah saat lo naik komedi putar, mungkin bakal ada pihak keamanan yang ngelarang, orang-orang yang bakal mencibir, atau bakal berkomentar lo nggak seharusnya naikin itu. Lo juga bakal bersama anak-anak lain yang menaiki komedi putar itu dengan cara mereka, berisik misalnya. Padahal adanya lo bisa naik, karena teknisi atau yang punya itu wahana kasih lo ijin buat naik karena dia udah tahu wahana itu nggak akan rusak hanya karena dinaiki oleh lo." Yanti berkata dengan panjang lebar.
Nina merenungkan nasihat Yanti dengan perumpaman yang tidak biasa. Tapi benar juga, dalam hubungan ini dia pasti akan dilarang oleh kakak sepupunya. Komentar orang-orang nanti setelah mereka tahu Nina berpacaran dengan Oli yang masih SMA, tentu banyak yang tidak setuju. Belum lagi Nina pastinya harus bersaing dengan cewek-cewek seusia Oli. Semua itu tetap mempengaruhi perasaannya meski Oli sudah jelas-jelas memilih Nina.
"Udah lah, Nin. Menurut gue, lo santai aja menjalani hubungan ini. Yang penting kan lo dan dia nyaman. Lagian nih ya, Oli bagusan jalan ama lo deh. Biar nggak terjerumus ke hal-hal yang negatif. Kenakalan remaja, misalnya. Lo kan lebih dewasa, pasti lo bisa mengarahkan dia," dukung Yanti.
"Tapi kata dewasa yang kamu bilang berasa terdengar tua di telinga aku," gerutu Nina.
Yanti malah terbahak mendengar Nina mengeluh. "Ya ampun, Nin. Sensi banget, sih? Kita seumuran kali, ah. Mana mungkin gue ngatain lo tua? Itu artinya gue juga tua kali. Nah, ini juga motivasi buat lo untuk selalu tampil muda, namun dengan jalan pikiran yang pasti lebih dewasa dong," tutur Yanti.
"Iya juga sih. Makasih ya, Yan. Kamu udah buka jalan pikiranku." Nina tersenyum lalu memeluk tubuh Yanti sebentar.
Yanti balas memeluk sahabatnya. "Sama-sama, Nin. Biasanya juga lo yang gue repotin buat nemenin gue ke mana-mana, bantuin di urusan kerjaan, bahkan mau nemenin gue curhat tentang mantan sampe jam dua malem," balas Yanti lalu mereka tertawa bersama.
"Hemm kamu lupain aja si mantan itu. Kita sudah mengorbankan jam tidur kita untuk menghujatnya. Lebih baik move on. Pak Hasan masih available tuh," goda Nina.
Supervisor mereka yang masih berumur dua puluh sembilan tahun itu selain baik, dia juga terkesan pria yang religius. Urusan wajah, pastinya tampan. Tapi bukan selera Nina.
"Males, ah. Pak Hasan itu deket sama gue buat nanyain lo, tau," kesal Yanti.
"Ah masa?" Nina melotot tak percaya.
"Ya ... gue taunya belakangan. Pas gue mau bilang ke lo, eh gue ngeliat lo diantar si Oli. Apalah gue ini kalo nyampein hal itu ke lo saat lo udah jalan ama cowok. Buktinya sekarang, gue nggak ngasih tahu tentang pak Hasan pun lo udah galau duluan," ujar Yanti.
Nina mengangguk lemah, tetapi senyumnya merekah lagi. "Iya sih, tapi kalau pak Hasan, aku enggak lah. Sana ih buat kamu aja."
"Ikhlas, nih?" tanya Yanti lagi.
"Lahir batin," jawab Nina mantap.
"Alhamdulillah."
"Perjuangkan cintamu, Nak! Aku juga dapetin Oli pake usaha. Ya ... kali, cowok kayak Oli ngejar mbak-mbak kayak aku." Nina dan Yanti tertawa lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...