15) What a Day

7.2K 589 29
                                    

Oli sudah merecoki Hasna yang sedang membuatkan sarapan untuknya. Hari ini dia ingin sarapan bersama Nina. Bisa saja saa ini Oli membeli fast food, tetapi Nina tidak menyukainya. Sedangkan tidak mungkin bagi Oli untuk memasak sendiri. Anak itu juga tidak tega meminta Nina membuat sarapan untuk mereka berdua. Jadilah bik Hasna yang bangun lebih pagi dari biasanya untuk membuat nasi bogana.

"Cepetan nanti telat!" tegur Oliyang sudah mulai gusar.

Bik Hasna mengulas senyum kepada remaja tampan berusia tujuh belas tahun itu. "Sabar, Den. Ini lagi dimasukin ke tempat makanan," ucap bik Hasna. Kedua tangannya cekatan mengemas bekal.

Oli menggerutu, "Ah ... lama!"

Hasna kembali tersenyum melihat tuan mudanya.

Sementara itu, Zidan yang sudah bangun dan hendak ke ruang makan, mendengar suara berisik dari dapur. Ia pun menjadi penasaran dan pergi melihatnya. Mata Zidan setengah memincing ketika melihat keponakan lelakinya berada di dapur sepagi ini.

"Oliver? Tumben jam segini sudah bangun?" tanya Zidan.

Oliver menoleh ke arah Zidan sekilas lalu mengawasi kinerja bik Hasna lagi. "Terserah aku lah mau bangun jam segini kek, mau nggak bangun sekalian kek. Not your business," jawab Oli dengan nada tak sopannya.

Zidan menghardiknya. "Oliver!"

"Pak Zidan ingin saya buatkan nasi bogana juga? Ini Den Oliver minta dibikinin bekal. Dua porsi lagi," lerai bik Hasna. Hatinya terusik jika melihat dua pria itu berdebat.

"Buat bekal? Merepotkan sekali. Makan aja di sini nggak udah nyusahin bik Hasna nyiapin bekal segala, Oliver," tegur Zidan.

"Lho siapa yang nyusahin? Orang itu tugasnya bik Hasna kok," sahut Oli dengan ketus.

"Iya, Pak Zidan. Ini sudah tugas saya. Nggak apa-apa kok." Bikk Hasna menengahi.

"Bik Hasna jangan belain gitu! Dia itu harusnya bisa lebih mandiri. Ini apa-apa serba minta tolong." Kata-kata Zidan tentu saja membuat Oli marah.

"Ya ... kali gue mandiri bikin nasi bogana sendiri," sengit Oli lalu menyambar kotak nasinya.

"Oliver! Bisa nggak sih kamu lebih sopan dengan orang yang lebih tua." Zidan mulai meninggikan suaranya karena tingkah Oli.

"Gue bakalan menghormati seseorang kalau orang itu pantes dihormatin," tukas Oli sambil keluar dari dapur.

"Oliver, uang jajan kamu Om potong setengahnya kalau kamu nggak minta maaf. Oliver!" Zidan menegur dan berteriak kepada keponakanya. Namun, Oli tetap tak menghiraukannya.

Di sisi lain, Oli membanting pintu mobil dengan kencang. Pagi-pagi sudah dibuat kesal oleh om-nya yang sama sekali nggak asik itu.

Alamat bakal bete sampe siang nih, batin Oli.

Tapi ini nggak boleh! Dia akan ke rumah Nina, mau sarapan sama-sama. Masa mukanya manyun? Ya ... walaupun wajah Oli itu akan tetap ganteng untuk segala suasana, tapi di depan Nina beda. Dia harus tampak mempesona. Meskipun bagi Nina, Oli sudah terlihat sangat luar biasa.

"Anjay! Gue baru inget tadi si om rese mau potong duit jajan," umpat Oli.

Nggak bisa kayak gini, dong. Oli nggak bisa berhemat sekarang. Dia lagi dekat sama Nina, terus dia mau bayarin pakai apa kalau ngajak Nina jalan? Aduh, nggak mungkin dong Oli bayar pakai senyum. Oli berteriak frustrasi sebelum menjalankan mobilnya ke rumah Nina.

Sedangkan pagi-pagi begini Nina sudah mendapat ketukan di pintu. Karena tanggung sedang berpakaian, dia menyelesaikan kegiatannya lebih dulu. Bersamaan dengan itu, ponselnya berdering dan ketukan di pintu masih terdengar. Aduh ribet banget!

High School BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang