Hilman memang keterlaluan. Dimintai tolong untuk menjemput Nina pulang kerja malah lupa. Nina bukannya manja, hari ini Yanti tidak masuk. Jadi Nina tidak bisa ikut pulang bersamanya. Jika cuaca terang sih nggak masalah, mendung gini. Sebentar lagi yakin bakalan hujan. Nina harus menyeberang jalan untuk sampai ke halte.
Lampu belum juga berwarna hijau untuk penyeberang jalan, namun sudah mulai gerimis. Beberapa orang termasuk Nina sudah gelisah karena baju mereka mulai basah. Setelah lampu hijau untuk penyeberang menyala, orang-orang berjalan cepat agar tidak terlalu basah karena rintik hujan yang semakin lebat.
Tanpa sadar, Nina menoleh ke arah mobil yang berhenti di lampu merah. Nina memandangnya, lalu Nina tercekat. Di dalam mobil itu ada Oliver di balik kemudi. Yang membuat Nina jadi melambatkan langkahnya, di sebelah Oliver duduk seorang cewek mungkin seusia dengan Oliver. Meskipun kaca mobil gelap, Nina dapat melihat wajah cantik cewek itu. Oliver dan cewek di sampingnya larut dalam pembicaraan hingga membuat Oliver terlihat tertawa lepas.
Hati Nina terasa tertusuk. Ini tidak seperti saat dia melihat Oliver bersama Rina. Mungkin saja posisinya saat itu Nina bersama teman-temannya. Dalam zona nyaman tersebut, kepercayaan diri Nina muncul. Bukan hanya untuk mencari tapi juga merebut perhatian Oliver yang jelas-jelas bersama Rina.
Tapi sekarang kondisinya berbeda. Oliver dan cewek itu duduk nyaman di dalam mobil. Sementara Nina, dia kelelahan setelah pulang kerja, hawa dingin menyerangnya karena cuaca sedang gerimis dan mungkin saja karena Nina sendirian saat ini. Jadi tidak ada energi positif yang membuat mood-nya membaik.
Karena berjalan dengan tidak fokus, Nina terjatuh karena orang yang di belakang Nina mendorongnya. Kepala Nina membentur trotoar. Namun Nina sadar sedang di jalan, dia berusaha untuk segera berdiri. Untung saja kejadiannya tidak di tengah jalan.
"Jalannya cepet dong, Mbak!" Bukannya meminta maaf, laki-laki itu malah mengomel pada Nina. Nina masih berusaha bangkit, namun tiba-tiba terasa pusing. Tubuhnya yang belum sepenuhnya berdiri akhirnya jatuh lagi. Kali ini Nina tidak sadarkan diri.
*
Nina mencium bau sesuatu yang menyengat di hidungnya. Saat dia membuka mata, ternyata ini ruang perawatan di rumah sakit. Ada seorang perawat yang membersihkan luka di lutut Nina. Nina merasa perih dan ngilu di beberapa bagian tubuhnya sekarang.
"Saya kenapa, Sus?" tanya Nina kepada perawat itu.
"Mbak tadi pingsan karena jatuh membentur trotoar. Ini lukanya sedang saya bersihkan. Masih pusing?" Tanya perawat itu lagi. Nina hanya mengangguk pelan.
"Istirahat saja. Saya akan kembali untuk membawa formulir administrasinya, mungkin ada keluarga yang ingin dihubungi?"
"Saya tinggal sendirian, Sus. Bawakan saja tagihannya," perintah Nina. Dia ingat kalau Hilman masih di Bogor saat dia minta dijemput tadi.
"Sebaiknya Mbak istirahat di sini malam ini," kata perawat itu.
"Nggak usah, Sus. Saya cuma jatuh tadi. Rasanya nggak ada yang patah," tolak Nina, perawat itu mengangguk lalu keluar untuk menyiapkan administrasinya.
Ya memang tidak ada yang parah kan, tentu saja perawat itu memperbolehkan pulang. Lagipula Nina tidak mau menggunakan uangnya hanya untuk tidur di rumah sakit jika memang keadaanya tak separah itu. Dua tahun Nina merantau di Jakarta, baru kali ini Nina merasa sendirian.
Bayangan Oliver dengan cewek lain menambah luka di hatinya. Nina menelan rasa sakit atas semua yang terjadi hari ini. Sudah tidak dijemput Hilman, melihat Oliver yang memang bukan haknya sedang bersama cewek lain, sampai jatuh dan pingsan di jalan. Sekarang pun harus mengurus administrasinya sendiri setelah keluar dari rumah sakit. Nina jadi ingin pulang saja saat ini ke Surabaya. Nina rindu ibunya.
*
Valen menyetir mobil menuju rumah setelah tadi latihan seharian di studio. Ponselnya berbunyi, panggilan dari Hilman. Valen menepikan mobil karena akan menerima telepon. Bahaya jika menyetir sambil menelpon.
"Ya, ada apa Man?"
"Val, gue minta tolong dong. Lo kan baru pulang dari studio nih, bisa nggak lo mampir ke tempat sepupu gue, si Nina? Jadi harusnya gue jemput dia, tapi ini gue lagi di Bogor. Gue telpon ponselnya nggak aktif. Kali ini perasaan gue nggak enak."
"Oh ya udah lo kasih gue alamatnya. Gue ke sana sekarang." Tentu Valen tak keberatan. Pemuda itu memang ingin dekat dengan Nina.
"Thank you, Bro!"
Setelah Valen mematikan ponsel, Hilman mengirim alamat rumah kontrakan Nina. Waduh ini kan kampung! Hilman nyadar nggak sih kalau Valen itu artis. Kalau diserbu ibu-ibu gimana coba? Valen jadi resah.
Demi Nina, dia bakal melakukan apapun. Tapi kalau posisinya Valen sendiri harus menjemput Nina di kawasan perkampungan, ya berat juga. Aduh mana ujan lagi! Becek pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...