Sebenarnya Nina sudah sembuh, dia bahkan sudah berangkat kerja sejak hari Rabu. Tapi karena si Hilman, Nina tidak diperbolehkan mengajar dance dulu Sabtu ini, juga mengajar senam Minggu besoknya. Nina juga tidak bekerja di supermarket. Intinya pekerjaan sampingan Nina semua off, Nina harus istirahat. Punya ayah kandung yang galak sekalipun jauh lebih baik, daripada kakak sepupu yang protektif dan cenderung posesif.
Sabtu ini Nina ke rumah sakit untuk membesuk Mayang anaknya bu Rasti. Kata bu Rasti, Mayang terkena gejala DB dan harus diopname. Nina diantar Hilman, karena Yanti dan teman-teman yang lain sudah membesuknya Jumat malam. Sedangkan Nina, dia sudah dijemput Hilman Jumat sore saat pulang kerja dan tidak diperbolehkan keluar dari apartemen. Ya ampun, dikira Nina kerupuk apa ya nggak dibolehin kena angin malem dikit.
"Lo berapa lama nanti?" tanya Hilman setelah mereka sampai di depan halaman rumah sakit.
"Aku bisa pulang sendiri, Kak," jawab Nina lirih.
"Jam berapa, gue tanya!" Hilman lebih tegas.
Waduh, Hilman masih senewen saja dengan kejadian bersama Valen waktu itu. Gimana mau cepet dapet pacar, kalau Hilman mulai posesif nggak jelas kayak gini, gerutu Nina.
"Ya udah jemput aku sejam lagi," putus Nina. Hemm, mau jemput kok maksa gitu. Kemaren aja Nina beneran minta jemput malah lupa. Coba kalau dia jemput, Nina kan nggak perlu jatuh karena melihat Oliver dengan cewek itu. Aduh.... Oliver lagi!
"Ati-ati," pesan Hilman kemudian sebelum Nina keluar dari mobilnya.
Di dalam rumah sakit, Nina mencari-cari di mana ruangan Mayang diopname. Entah karena Nina tidak fokus atau Nina sedang lemah otak, ruangan Mayang belum ketemu juga. Padahal Nina sudah bertanya pada salah satu perawat yang lewat. Ah masa harus tanya lagi? Tanya lagi aja deh, toh nggak bayar.
Nina menanyakan pada salah seorang pria yang berjalan di lorong yang sama dengannya. Sepertinya sih dokter, dilihat dari pakaiannya. Ya bener, dokter! Ok, Nina masih memperhatikan dokternya bukan jawaban yang diberikan.
"Mbak?" sapa dokter itu.
"Oh ya. Saya kok bingung ya?" tanya Nina lagi. Terang saja bingung, dari tadi Nina hanya memperhatikan wajah tampan dokter itu. Beneran tampan deh! Nina sih amit-amit ya ngerasain sakit. Tapi kok ya ngarep diperiksa kalau dokternya setampan ini.
"Saya juga akan ke bangsal ini. Mari saya antar?" tawar dokter itu.
Nina segera menyejajarkan langkahnya dengan sang dokter tampan. Asik nggak tuh! Lagi bingung, eh ada yang menolong. Rezeki emang nggak ke mana.
"Dokter kerja di sini?" Nina langsung merutuki kebodohannya. Ya iyalah, nggak mungkin itu dokter lagi karya wisata.
"Ehm maksud saya, dokter sedang tugas saat ini," ralat Nina. Dokter itu tersenyum sebelum menjawab. Nina berdoa semoga dokter itu tidak berpikir kalau Nina cantik tapi bego ya. Nina tahu dia cantik, kalau bego itu kadang-kadang saja. Parahnya dia bego di saat yang tidak tepat seperti sekarang ini.
"Saya tugas di sini, tapi ini bukan jam saya. Ada perlu dengan seseorang saja," jawabnya.
Pernah dengar penyiar radio yang sedang cuap-cuap? Nah ini dokter kayak gitu tuh. Suaranya dahsyat kalau kita lagi memejamkan mata dan dengerin suaranya. Bedanya kalau penyiar radio kadang suaranya merdu tapi mukanya biasa, pak dokter ini suaranya merdu, wajahnya syahdu. A perfect combination, halah!
"Oh." Hanya itu reaksi Nina. Nina sudah tidak berminat untuk bertanya lagi. Kalau sudah gagal di awal, ke babak selanjutnya jadi malas.
Sementara itu, Rasti kebetulan keluar dari ruang perawatan. Nina kebetulan melihat dan segera saja memanggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
Chick-LitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...