Nina mengganti pakaian lebih santai. Setelah sholat dzuhur, lalu mencoba untuk tidur. Tapi dia sempat memikirkan kejadian tadi di rumah sakit. Kok bisa kebetulan banget ya? Ketemu dokter tampan, tahunya temen bu Rasti jadi kenalan. Udah gitu pulangnya dianterin sampai ketemu Hilman.
Nina membayangkan wajah tampan dokter Zidan hingga dia memejamkan mata. Nina tersentak lalu membuka matanya lagi karena wajah dokter Zidan yang dibayangkan malah berganti dengan wajah Oliver. Aduh sakitnya ditolak berondong!
Bunyi ponsel membangunkan Nina. Dia segera meraih ponselnya, missedcall dari Oliver sebanyak dua kali. Mau apalagi sih Oliver menelepon Nina? Nina sudah mencoba untuk melupakannya. Mata gadis itu melihat jam digital di ponsel, sudah setengah empat sore. Nina bangun untuk mandi dan sholat ashar.
Nina hendak keluar kamar lalu ponselnya berbunyi lagi. Ini Oliver, Nina langsung mengangkatnya. Maunya apa sih berondong yang satu itu.
"Halo?"
"Nina?" Suara Oliver yang sangat dirindukan Nina. Eh, nggak jadi rindu ding! Kan mau move on.
"Ya, ada apa?"
"Aku di depan rumah kamu. Keluar dong," pinta Oliver.
Hah? Di luar? Nina buru-buru keluar kamar lalu keluar dari apartement. Di lorong tak seorangpun ada di sana kecuali Nina. Tunggu, Oliver bilang rumah kan? Ya ampun! Oliver di rumah kontrakan Nina dan Nina di apartemen Hilman. Nina menepuk jidatnya. Kenapa dia sebodoh ini?
"Aku nggak di rumah, Li," tutur Nina. Mereka masih saling menelpon.
"Lah terus di mana?"
"Di apartemen kakak aku," sahut Nina.
"Pantesan dari tadi aku ketok pintu nggak ada yang nyahut. Ya udah kasih tahu alamatnya di mana, aku ke situ sekarang." Oliver mematikan ponselnya.
Ih apaan sih nyuruh-nyuruh! Nggak hormat banget sama orang yang lebih tua. Harusnya minta alamat kan, bukan seenaknya aja minta Nina ngasih tahu. Nina dongkol sendiri tapi tetap saja memberikan alamat apartement Hilman lewat sms. Tapi Nina menyuruh Oliver bertemu di minimarket dekat apartement saja. Tidak di sini, nanti Hilman tanya-tanya kan repot. Nina masuk kembali dan menemui Hilman di kamarnya.
"Kak, aku ke minimarket depan gedung ya? Bentar doang," pamit Nina.
"Mau beli apa? Gue nanti malam juga ke supermarket, nanti gue bawain," putus Hilman. Karena Nina tidak membantu Hilman di supermarketnya, dia akan lebih awal datang ke sana untuk mengecek.
"Mau beli itu lho, pembalut. Masa Kakak yang beliin, kan nggak sopan." Nina mencari alasan.
"Ya nggak papa, lo tinggal sebutin merk-nya aja. Lo kan adek gue, ngapain gue malu ngelakuin sesuatu buat adek gue sendiri," ujar Hilman.
Harusnya Nina akan melting, atau terharu, atau apapun itu karena ucapan Hilman. Tapi Nina terlanjur sibuk mencari alasan.
"Ah nggak usah, Kak. Aku mau cari pembalut tuh yang tipis, ada sayapnya, ada keliman samping, non parfum, tapi ada gambarnya juga. Meskipun aku nyebut merk juga bakal macem-macem jenisnya." Aduh bahas kayak gituan sama cowok emang risih, tapi nggak kalau sama kakak sendiri.
Hilman menoleh ke arah Nina. Matanya menatap penuh selidik. "Beneran lo pakainya seribet itu?"
"Ih pakainya mah nggak ribet cuma ditempelin doang. Cuma jenisnya lho, aku bilang je-nis-nya. Lagian punya aku tuh sensitif, nggak boleh pakai yang merk sembarangan. Aku pergi dulu bentar." Nina langsung meninggalkan Hilman yang masih dalam pemikirannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
Chick-LitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...