"Itu, Li! Itu warung tendanya," tnjuk Nina saat dia dan Oli sampai di sebuah jalan yang di pinggirnya banyak warung tenda yang berjualan makanan. Di sana hanya satu warung saja yang menjual nasi uduk. Meskipun sebuah warung di pinggir jalan, namun tempat itu bersih dan nyaman. Jadi, banyak orang yang datang untuk makan di sini. Selain itu ya karena masakannya juga lezat dan harganya terjangkau.
"Oh, itu. Aku cari tempat parkir dulu," kata Oli. Dia memakirkan mobilnya agak jauh dari warung karena ramai.
"Kayaknya di warung lagi ramai deh, Li. Bungkus aja, ya? Kita makan di rumah. Lagian panas banget makan di situ," usul Nina. Oli mengangguk saja.
"Kamu mau turun juga?" tawar Nina lagi.
"Ya lah, jagain kamu. Nanti kamu malah kepincut ama tukang nasi uduk. Kan kamu bilang udah langganan. Bisa aja cinta lokasi," gurau Oli yang membuat Nina terkekeh.
Ternyata Oli bisa bercanda juga ya, batin Nina.
Hemm kalau lagi ketawa Nina cantik banget ya, Oli mengagumi dalam hati.
"Yang jual nasi uduk tuh mas Sarip, udah nikah sama mbak Siti. Mbak Siti itu janda punya anak dua yang suaminya meninggal. Sedangkan mas Sarip waktu nikah sama mbak Siti itu masih bujang. Setelah menikah itu mereka usaha buka warung nasi uduk dari pagi sampe siang. Sorenya sekitar jam tigaan udah pada abis." Nina bercerita. Mereka sedang jalan berdua menuju warung tenda nasi uduk.
Oli menoleh ke arah Nina. "Kok kamu tahu semuanya?"
"Mbak Siti yang cerita," jawab Nina.
Oli mengaitkan tangan kirinya di tangan kanan Nina. "Untung aku ketemu kamu sekarang ya, Nin. Masih gadis. Coba kalau nanti, mungkin aja kamu udah janda," celetuk Oli.
Nina melotot dan melepaskan gandengan tangan Oli. Dia memukuli lengan Oli dengan geram. "Ihh enak aja nyamain aku sama jandanya mas Sarip! Awas kamu, Li," ancam Nina sambil terus memukuli Oli.
Oli malah terbahak meskipun tidak berusaha menghindar dari pukulan-pukulan Nina. Mereka terus bercanda seperti itu hingga sampai ke warung tenda mas Sarip.
Sesampainya di warung, Nina tidak segera menegur pemiliknya. Mas Sarip sedang sibuk meracik nasi uduk dan mbak Siti menghidangkannya ke meja di mana para pelanggannya menunggu. Beberapa orang juga duduk di dekat mas Sarip, kelihatannya mereka membeli nasi untuk dibungkus juga. Setelah mbak Siti kembali di samping mas Sarip, dia menegur Nina.
"Neng, baru keliatan. Udah sembuh sakitnya?" tanya mbak Siti dengan senyuman yang ramah.
Nina mengangguk dan balas tersenyum. "Udah. Seminggu ini aku tinggal di rumah kak Hilman, Mbak."
"Oh, terus mau dibikinin berapa nih?" tawar mbak Siti.
"Dua, dibungkus," sahut Nina lalu memandang Oli. "Kamu suka pedes nggak, Li?" tanya Nina pada Oli dan menggeleng.
"Sambelnya dipisah," pinta Nina pada mbak Siti.
"Siap. Duduk dulu, Neng." Mbak Siti menarik dua kursi.
"Ya, makasih." Nina duduk di kursi diikuti Oli yang duduk di sampingnya. Dia melihat Oli yang sudah kepanasan, mengambil tisu di tasnya. Nina mengusapkan tisu ke dahi Oli.
"Duh kasian sampe keringetan gini. Tadi disuruh nunggu sambil ngadem di mobil aja nggak mau sih," tukas Nina yang masih mengelap keringat Oli dengan lembut sambil tersenyum.
Kasihan ini pangeran Oli, harus duduk di pinggir jalan, batin Nina.
"Biarin aja," kata Oli cuek. Padahal dia sudah enggak tahan kegerahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...