Oliver sampai di depan rumah Nina. Malam ini dia ingin sekali mengajak Nina jalan-jalan. Dia sebal karena di rumah, Zidan menceramahinya. Oli ketahuan pergi malam hari dan tidak pulang sampai paginya. Dia diajak Rexa untuk balapan, setelah itu dia menginap di rumah Wahyu dan paginya dia langsung berangkat ke sekolah tanpa pulang ke rumah. Zidan yang biasanya melihat Oli saat pagi hari, marah besar saat tahu Oli tidak pulang.
"Kasih? Tumben ke sini malem banget?" Nina bertanya dengan wajah mengantuk. Ini sudah pukul sepuluh malam dan Nina sepertinya baru memejamkan mata saat mendengar pintu rumahnya diketuk.
"Ngerayain Valentine, yuk?" ajak Oli.
Mata Nina yang tadinya mengantuk sekarang membelalak. Apa tidak salah pendengarannya? "Valentine? Ngerayain gimana?" Nina masih tidak mengerti.
"Dinner kek, apa kek,." Oliver menyandarkan punggungnya di tembok rumah Nina.
"Ka, ini tuh udah jam berapa? Aku udah kenyang, tinggal ngantuk doang. Lagian kalau mau ngerayain itu kemaren tanggal tiga belas Pebruari, jadinya malem Valentine gitu, bukan sekarang. Tadi siang nggak ada suara apa-apa giliran udah malem mau dirayain," gerutu Nina.
"Ayo lah, Cinta?" Oli masih membujuk.
Oli ingin sekali pergi dengan Nina saat ini. Sedangkan Nina sendiri sedang malas keluar. Selain dia mengantuk, dia teringat belum mendapat uang mingguan dari Hilman. Mana ada duit buat kencan. Selama ini memang mereka sering patungan kalau pergi. Nina juga tahu diri, setajir apapun Oli, duitnya bukan punya sendiri.
"Aku belum gajian. Minggu depan aja deh." Nina masih menolak.
"Kamu sendiri bilang hari ini udah telat ngerayain Valentine, apa lagi minggu depan? Apa gitu namanya?"
"Pokoknya aku lagi males keluar, Ka," tolak Nina lagi.
"Please, Cinta. Aku yang traktir," rengek Oliver. Tubuhnya kembali berhadapan dengan Nina.
"Kamu mana ada duit? Uang saku kamu kan dari orang tua ... maksudnya kakek atau om kamu."
Oli membuang napas dengan kasar. "Ok, lupain uang yang ada di dompet aku. Ini di saku celana ada sekitar, ehm dua ratus lima puluh enam ribu. Uang aku sendiri." Oli merogoh saku celananya lalu menujukan beberapa lembar uangnya pada Nina.
Nina menatap tak minat. "Kita sarapan sama-sama besok pagi. Good night, Ka." Nina berbalik badan akan masuk dan menutup pintu, namun Oli dengan cekatan menarik tubuh Nina agar berhadapan dengannya.
"Aku butuh ditemenin sekarang, Cinta. Please jangan nolak." Kata-kata Oli tajam seperti ancaman.
Ya, ancaman yang tersirat tentunya. Oli tidak menunjukan ekspresi menyeramkan di wajah tampannya. Nina menghela napas karena terhipnotis mata biru Oli dan selanjutnya dia menuruti keinginan Oli.
"Ya udah, masuk dulu. Aku mau ganti baju," putus Nina. Oli melepaskan tangan Nina lalu mengikuti gadis itu masuk ke dalam rumah.
*
Valentine pertama yang dirayakan bersama pacar pertama dan sangat aneh! Nina hanya memakai dress sederhana berwarma khaki lalu jaket jeans untuk menutupi bagian atasnya. Dia memilih sepatu flat warna putih sewarna dengan tasnya.
Wajah mengantuk Nina tidak tertolong karena dia hanya mencuci wajah lalu menyisir rambut panjangnya tanpa menyentuh make up. Biar saja, toh Oli sudah pernah melihatnya dalam kondisi lebih buruk. Berkeringat setelah olah raga, misalnya.
"Enak ayamnya?" tanya Oli.
"He em," jawab Nina malas.
Mau seenak apapun makanan itu, Nina sudah kenyang. Makanan selezat apapun tidak akan terasa nikmat jika dikonsumsi saat perut sudah kenyang. Sementara itu, Oli merasa Nina terpaksa menemaninya. Bukannya memperbaiki suasana hati, justru memperburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...