Nina mencari Hasna sampai ke dapur, tapi wanita itu tidak ada di sana. Dia hanya ingin pamit pulang tapi tidak ingin bertemu Zidan. Oli kan sudah melarangnya.
"Mba Nina!" Sapa Hasna. Nina menoleh dan tersenyum ke arahnya. Senyum Nina menghilang karena Zidan di belakang Hasna.
"Bik, saya pulang dulu ya," pamit Nina.
"Kita harus bicara, Nin," tegur Zidan.
"Maaf om, saya lelah. Mau pulang."
Mendengar kata-kata Nina, bik Hasna menahan tawa. Zidan sendiri terkejut dan menaikkan kedua alisnya. Apa tadi Nina bilang? Om? Yang benar saja!
"Aku bahkan belum genap tiga puluh tahun, Nin. Kenapa kamu panggil 'Om'?"
"Om kan om-nya Oliver, jadi saya juga panggil om."
Zidan mengusap tengkuknya dengan tangan kanan, bik Hasna melepas tawanya. Bik Hasna segera mohon diri saat melihat tatapan mata Zidan yang tak suka ditertawakan. Setelah bik Hasna pergi, Zidan mendekati Nina.
"Bagaimana Oliver bisa mengenalmu?"
"Aku mengenal teman-teman sekolah Oliver," jawab Nina. Dia sedikit gugup dengan pertanyaan Zidan.
"Jadi kamu temannya?"
"Aku--teman dekatnya."
Nina tidak bisa jujur pada Zidan kalau dia berpacaran dengan Oli. Oli itu tampan, cowok idaman Nina banget, tapi untuk kali ini dia tidak bisa membanggakan pacar sendiri di depan orang lain. Entah karena orang itu Zidan atau justru karena perasaan Nina sendiri.
"Aku harus pulang." Nina membalikkan badan, tapi Zidan menahan tangannya.
"Sebaiknya tidak kau temui Oliver lagi," kata Zidan dengan tegas. Nina tak menyangka Zidan akan berkata seperti itu, dia terkejut lalu menghembuskan nafasnya. Dia tersenyum sarkastik.
"Mengapa tidak?" tanya Nina setengah menantang.
"Dia tanggung jawabku. Belakangan ini nilai-nilai di sekolahnya menurun. Dia juga sering bolos. Aku hanya ingin dia lebih fokus pada sekolahnya. Dia sudah kelas dua belas, sebentar lagi ujian."
"Maksud Om, Oliver jadi anak nakal karena berpacaran denganku?"
"Jadi kalian pacaran?" Zidan balik bertanya. Nina sendiri tak sadar akan ucapannya. Nina merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah. Tidak! Perasannya pada Oli tak salah. Nina benar-benar menyayanginya kan?
"Kita saling sayang. Kalau Om tidak suka aku berpacaran dengan Oli karena nilai-nilai akademisnya menurun, akan aku buktikan dia bisa menjadi lebih baik." Nina berbalik akan meninggalkan Zidan, lagi-lagi Zidan menahannya.
"Aku antar."
"Tak perlu," tolak Nina.
"Jangan membantah, Nina!" tegur Zidan.
*
Hanya keheningan saat mereka di dalam mobil. Baik Zidan maupun Nina larut dalam pemikirannnya masing-masing. Nina kembali memikirkan perasaannya pada Oli, sedangkan Zidan harus memikirkan ulang perasaannya pada Nina.
"Bagaimana kalian bisa berpacaran?" tanya Zidan memecah keheningan.
"Kenapa Om tidak membawa Oli ke dokter saat dia sakit?" Nina balik bertanya. Saat ini dia sedang tidak ingin diintrogasi oleh Zidan. Namun dia menjadi egois untuk menuruti rasa ingin tahunya mengenai Oli dan Zidan.
"Itu bukan jawaban, Nina."
Nina menghela nafasnya sebelum membalas, "ok, kalau Om mau tahu. Oli memiliki semua hal tentang seseorang yang kuinginkan. Mungkin saja Oli merasakan hal yang sama padaku, lalu kita memutuskan untuk jadian." Nina memiringkan tubuhnya ke arah Zidan yang sedang fokus menyetir. " Sekarang aku ingin tahu. Mengapa paman dari pacarku tega menelantarkannya saat dia sakit. Padahal Om ini seorang dokter." Nina menekankan kata terakhirnya lalu memperbaiki posisi duduknya, menghadap ke depan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Boyfriend
ChickLitKarenina Suwandi baru merasakan cinta di usia dua puluh tiga tahun. Ia jatuh cinta kepada cowok SMA yang berusia lima tahun lebih muda darinya, Oliver Sinatria. Untuk menaklukkan Oliver yang tampan, cool, dan sedikit bad boy, Nina tak hanya menganda...