04: Sore Throat

3.9K 337 4
                                    

Aku terjaga dari mimpi burukku ketika mendengar pintu ruang tempat aku ditahan dibuka. Wanita yang kemarin menangkapku masuk ke dalam sambil membawa sepiring makanan.

Bukan makanan yang biasa aku makan. Lebih buruk malah. Bentuknya membuatku ingin muntah. Warnanya apalagi. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya.

Pasti seperti sampah.

Ia meletakkan piring itu di depan tempat tidurku. "Ini jatah makanmu untuk hari ini." Aku mengangguk pelan. "Harus habis! Kau paham?" Aku kembali menganggukkan kepalaku.

"Kau bisu ya? Aku tanya, kau paham!?" gertaknya.

"YA." Aku memasang tampang mengejek.

Lalu, ia meninggalkan ruang tahananku dan kembali mengunci pintunya. Aku turun dari tempat tidurku dan meraih piring berisi makanan tak berbentuk itu.

Aku tidak ingin memakannya tetapi... cacing di perutku sudah menangis kelaparan dan aku diharuskan untuk menghabiskannya.

Jadi, terpaksa aku memakannya. Kusuapkan secuil makanan itu ke dalam mulutku dan hampir saja aku memuntahkannya karena rasanya luar binasa. Lebih hambar dari makananku sehari-hari.

Tetapi, otakku menyuruh tanganku untuk kembali menyuapkan makanan itu ke dalam mulutku. Sampai akhirnya, makanan itu habis juga.

Aku hanya bisa mengerang pelan. Perutku langsung seperti dikocok-kocok. Aduh, makanan dari apa sih itu?

Tak lama kemudian, rasa kantuk kembali menyerang. Aku kembali membaringkan tubuhku di atas kasur yang keras dan berusaha untuk terlelap.

***

Keesokan harinya, aku terbangun ketika pintu ruang tahananku kembali dibuka. Ternyata aku sudah tidur hampir seharian. Tidak salah kan? Memangnya aku mau melakukan apa? Aku hanya bisa makan-tidur-makan-tidur.

Tapi, kali ini wanita itu masuk tanpa membawa sepiring makanan seperti kemarin. "Kau dibebaskan." Aku menaikkan alisku sebelah. "Oleh?"

"Jangan cerewet. Cepat keluar dari sini. Aku sudah muak melihat mukamu," katanya dengan sinis. Aku tertawa mengejek. "Dengan senang hati, singa betina."

Aku melangkahkan kakiku meninggalkan ruangan itu. Tidak kupedulikan tatapan membunuh yang dilemparkan wanita itu kepadaku.

Saat aku keluar, aku mendapati Alejandro bersandar pada tembok. Dia... yang membebaskanku? Tidak mungkin. Itu mustahil!

Ia mengangkat wajahnya dan langsung menghampiriku. "Apa yang kau lakukan, Mitch?" Matanya menatapku lekat-lekat, seakan-akan ia ingin menelanku bulat-bulat.

Kini giliran aku yang terdiam. Aku tidak mungkin membantahnya, dia telah membebaskanku dari tahanan yang hampir membuatku gila dengan makanan mereka itu.

"Maaf," bisikku pelan.

"Lupakan saja," katanya sambil berjalan mendahuluiku. Aku segera berjalan menyamakan langkahku dengannya.

***

"Ingat Mitch, jangan melakukan hal bodoh seperti tempo hari," kata Alejandro mengingatkanku. Aku mengangguk patuh.

Oke, hari ini saja aku menurutinya. Hari-hari selanjutnya... jangan mimpi! Ah, lupakan saja si pengecut itu. He's not important.

Setelah itu, kukenakan headphone yang tersedia dan mulai bernyanyi. Kali ini, kami mendapatkan lagu Chandelier. Okelah, nadanya cukup tinggi.

I'm gonna swing from the chandelier,

From the chandelie— uhuk!

Eh. Barusan itu apa?

"Grassi? Ada apa?" tanya Alejandro. Ia berjalan menghampiriku. "Ada apa?" tanyanya sekali lagi. Aku hanya mengedikkan bahuku, tanda aku tidak tahu.

"Coba buka mulutmu," perintah Alejandro. Aku pun menurutinya. Kubuka mulutku dan... "Astaga, Grassi! Sepertinya kau terkena radang tenggorokan!"

Aku membelalakkan mataku. Radang tenggorokan? Yang benar saja! Kalau aku terkena radang tenggorokan... aku tidak dapat bernyanyi. Aku tidak akan menghasilkan energi listrik.

"Kau harus segera diobati. Pergilah ke laboratorium utama."[]

The EartheniansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang