"Tali peluncurnya tersangkut, Sir."
Avi terlihat mulai panik. Begitu juga dengan kami.
"Talinya harus segera diperbaiki, Sir. Jika berada di bawah atmosfer terus menerus, alatnya akan meledak!" ujar salah satu dari beberapa pekerja.
"Aku akan memperbaikinya!" ujar Avi.
"Tidak, Avi. Kondisimu saat ini tidak memungkinkan," kataku, memperingatinya.
Suasana langsung menjadi ricuh. Yang awalnya menangis haru, sekarang mereka menangis dengan pilu, pasrah dengan keadaan.
"Aku yang akan meperbaikinya."
Kami langsung hening. Pria itu maju ke depan dengan berani. Scott...
"Tidak perlu, Scott. Kita akan tunggu sampai malam hari. Biasanya sinar UV yang terpancar hanya sedikit."
"Tidak bisa, Sir. Sinar UV yang terpancar akan membuat benda itu semakin cepat meledak!" Pekerja itu angkat bicara lagi.
"Kau dengar kan, Avi? Aku akan keluar dan memperbaikinya."
Avi terlihat bimbang.
"Tapi, Scott, jika kau terkena sknar UV, kau akan terkena kanket kulit. Apalagi kau tidak memiliki pigmen kulit."
"Aku hanya ingin menebus kesalahanku. Kalau bukan karena aku, kalian tidak akan seperti ini," sesalnya.
"Tidak, Scott. Kau tidak boleh meninggalkan kami!" Akhirnya aku angkat bicara.
"Kau tidak boleh egois, Mitch. Taruhannya nyawa kalian!"
Tidak bisa kutahan lagi air mataku yang sejak tadi terus mendesak keluar.
Aku takut kehilangannya. Dia adalah sahabat terbaikku, dan aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri.
"Kau jangan gila, Scott. Sinar UV sangat berbahaya bagimu," bela Avi. Aku mengangguk setuju.
Scott menggeleng.
"Avi, jangan dengarkan kata Mitch. Sekarang, berikan aku baju untuk melindungi diriku dari sinar UV."
***
Saat ini, Scott sedang berdiri di pintu darurat. Tubuh jangkungnya dibalut dengan pakaiab khusus yang akan melindungi tubuhnya dari paparan sinar UV.
"Scott, please. I beg you. Don't leave us." Aku memohon padanya dengan mat berkaca-kaca.
Scott tersenyum kecil. "Tidak, Mitch. Aku harus pergi." Ia memelukku dengan erat. Kulingkarkan kedua tanganku dan menariknya untuk semakin mendekat.
"Hiks. Scott..."
Scott melepaskan pelukannya dan menoleh. Gabriela berdiri di sampingku. Air matanya tak bisa berhenti mengalir.
Pria bermata biru itu mendekatinya. Direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukannya.
"Gabriela, I have to do this. You'll be fine here. Mitch and Avi will take care of you, kay?"
Tangisannya semakin menjadi. Ia terlihat tidak bisa merelakan kakaknya.
Scott berbisik kepadaku. "Tolong jaga dia. Sayangi dia. Kupercayakan adikku kepadamu."
Aku dan Gabriela saling berpelukan. Kubiarkan air matanya membasahi kemejaku.
Scott berjalan keluar dan tubuhnya menghilang di balik pintu.
Lalu, kami semua menatap nonitor di luar dengan penuh harap.
Sosok sahabatku itu muncul di monitor tak lama kemudian. Ia terlihat kesakitan.
Tidak. Kau harus bertahan, Scott.
Kami semua melihatnya sendiri. Ketika kulit pucatnya berubah menjadi ungu, dan kehitaman...
Sinar UV membunuhnya secara perlahan!
"Avi, suruh dia masuk!" pinta Gabriela.
Avi tertunduk lesu dan menggeleng. Kekasihku itu langsung menjerit histeris.
Kami melihat ia masih tetap berusaha meskipun tubuhnya terlihat lemas.
Ia membetulkan tali itu dan kulihat alat raksasa itu terbang ke atmosfer.
Dan saat itu juga, tubuh Scott jatuh.
"Scott!"
Sosoknya menghilang dari monitor. Digantikan dengan cahaya yang bisa membutakan mata kami semua.
Dan...[]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Earthenians
FanfictionHIT #5 ON SCI-FI -- 08 OCT 15. [PENTATONIX FANFICTION] Tidak ada lagi benua ataupun samudra yang tersisa di bumi kita ini. Hanya ada permukaan kerak bumi yang kering, retak-retak, dan sangat rapuh. Tidak ada lagi tumbuhan dan hewan yang dapat hidup...