Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Ternyata aku sudah berada di salah satu kamar di Villa keluarga Rajatta. Jendelanya dibiarkan terbuka, sehingga angin laut yang berhembus dengan mudahnya dapat masuk ke ruangan kamar yang cukup besar itu. Dari jendela yang terbuka, aku bisa melihat Ivan, Keenan, Sheila, Tiara dan Trey sedang asyik bermain air di pantai. memang saja, saat itu matahari sudah condong ke arah Barat, sedangkan mereka bermain di bagian Timur pantai. 'Ternyata Trey bisa senyum juga.' Pikirku saat melihat Trey menyipratkan air kepada Sheila dan Tiara.
Aku menurunkan kakiku dari dipan kayu yang sedari tadi menopang tubuhku. Kemudian aku berjalan menuju dapur, berniat untuk mengambil segelas air putih disana, tapi, malah aku melihat Libra sedang mengaduk-aduk air di dalam panci.
"Kamu lagi ngapain?" Tanyaku.
"Eh, ini aku mau bikinin teh buat kamu." Jawab Libra.
"Kalau masak air nggak usah di aduk." Kataku sambil menahan tawa.
"Nggak bakal gosong emangnya?" Tanya Libra dengan wajah bingungnya.
"Nggak lah."
"Matengnya kayak gimana?"
"Tunggu sampe ada bubblenya."
"Berarti ini udah?"
"Iya, udah."
Libra pun menuangkan air panas tersebut ke dalam cangkir yang sebelumnya sudah ia siapkan.
"Maafin soal tadi." Kata Libra sambil menundukkan kepalanya.
"Nggak apa-apa." Akupun menyeruput teh yang ia buatkan.
"Aku nggak tahu kamu bakal sepanik itu."
"Iya, sekarang kamu udah tahu kan?"
"Iya." Kami pun terdiam sejenak.
"Um, eh, ke Barat yuk?" Ajak Libra.
"Pantai Barat maksudnya?"
"Iya."
"Boleh." Libra menarik pergelangan tanganku menuju pintu belakang.
Pemandangan yang tidak kalah indahnya menghampar saat Libra membuka pintu belakang Villanya. Suara gemercik ombak bersatu dengan tautan angin sore yang sejuk, dihiasi langit oranye keunguan yang memantulkan warnanya ke lautan luas.
Aku menatap Libra kagum, namun dirinya masih menatap ke arah lautan. Sekarang aku duduk dalam dekapannya. Sembari angin semilir tertiup menerpa rambut keriting Libra Rajatta, membuatnya menari tidak beraturan. Ia tersenyum kecil ketika ia sadar aku memperhatikan wajahnya, tanpa perintah tangannya bermain di pipi dan daguku, sesekali jemarinya menyentuh kedua potong bibir kecilku. Ia menoleh kepadaku, kedua bola matanya menatapku lekat, sehingga tidak ada celah diantaranya, kemudian wajahnya mulai bergerak, mendekat, perlahan tapi pasti, tapi entah mengapa ia tidak memberiku kesempatan sekecil apapun untuk menolak. Spontan aku menutup mataku perlahan diikuti pergerakan lenganku yang naik hingga tengkuk leher pria itu, aku membiarkannya mendekap tubuhku lebih erat, dan sekarang aku bisa merasakan nafas halusnya.
Tiba-tiba sesuatu yang empuk mendarat di bibirku, ciuman itu berlangsung tanpa peringatan, begitu hangat, juga menuntut. Libra melumat bongkahan bibir atasku, satu kali, dua kali. Sesaat sebelum aku mau membalas ciumannya, ia tersadar akan kenyataan dan segera melepaskan perpagutan kami berdua.
"Maaf." Ucapnya pelan ketika ia melepaskan ciumannya.
Aku terdiam.
"Maaf." Katanya sekali lagi, tetapi penuh dengan penyesalan.
"Aku boleh tanya?" Tanyaku perlahan begitu ia mengusap halus bibirku yang basah karena lumatannya.
"Hm?"
![](https://img.wattpad.com/cover/41381516-288-k923925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Roman pour AdolescentsKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...