7 bulan kemudian.
Mungkin ini memang awal yang berat, namun setelah kami berdua berhasil melewati satu rintangan, kedepannya semua berjalan dengan baik-baik saja. Libra sudah mulai sibuk dengan try out dan bimbel tambahan untuk ujian, tapi laki-laki itu masih menyempatkan diri untuk menemaniku menonton film keluaran terbaru atau sekedar menegak kopi di Windra's. Bahkan ia masih sempat mengajakku berlibur waktu libur tengah semester. Dan yang pasti ia sangat menjaga diriku juga dirinya, dari godaan-godaan cewek centil dan cowok banci di sekolah.
Sebelumnya aku tidak pernah mau menanyakan kemana ia akan pergi setelah kelulusan. Apakah ia akan mengambil kuliah di Indonesia atau mengikuti jejak ayahnya untuk belajar di kampung halaman sang Ibu, Amerika. Tak lain karena aku takut akan jawaban yang akan ia berikan, sederhananya aku takut sakit hati karena jawabannya tidak sesuai dengan kemauanku. Aku takut ia pergi dariku.
Tapi hari ini, di Sabtu siang yang agak mendung ia berlari dari kediamannya sambil membawa amplop yang sudah disobek. Wajahnya memerah saat aku mendapatkannya di pintu gerbang. Tanpa berkata-kata ia menyodorkan amplop yang sudah diseobek tersebut. Sekilas aku melihat sebuah perangko asing yang melekat di atasnya, dan cap universitas disampingnya.
"University Of Southern California?" Bacaku sambil mengerutkan dahi.
"Yup!"
"Kamu diterima?" Tanyaku setelah membaca seluruh isi surat tersebut. Sedikit terkenjut memang, tapi aku harus mengeluarkan ekspresi bahagiaku.
"USC Marshall School Of Business." Ucap Libra dengan bangga sambil menunjuk logo Universitas di bagian atas surat.
"I'm happy for you."
"Thanks! You should!"
"Yeah." Kataku sambil melemparkan pandanganku ke arah yang lain.
"Are you okay?"
"Sedikit kaget sih. But I'm proud of you." Aku mengelus belah pipinya, kemudian mengajaknya duduk di ruang tamu.
"Kita bakal baik-baik aja Biy. I promise."
"Ya, aku percaya. Tapi aku nggak bisa janji bahwa aku bakal baik-baik aja."
"You have to."
"Amerika itu jauh, Libra. Perbedaan waktunya juga banyak."
"We're gonna be okay, liat aja nanti."
"Tapi.."
"Aku kenal pacarku, dia perempuan yang kuat. Kalau cuma LDR sih dia bisa. Aku yakin."
"Buat aku, ini semacam break-up part kita."
"No, of course not! Bukan itu maksud aku ngasih tahu surat ini Biy."
"Aku nggak akan bisa."
"Bisa, setahun bukan waktu yang lama. Setelah kamu lulus, kamu bisa kuliah disana juga. Kita bakal sama-sama terus."
"Nggak bisa, Libra. Um, yaudah. You don't have to think about me, okay? You'll go, chase your dream, and I will chase mine also."
"Kamu nggak selemah itu, kamu harus tahu." Ucap Libra sedikit kecewa.
Setelah berbincang sebentar, Libra pamit pulang, karena malam ini Om Lukas akan mengajak keluarganya makan malam dengan rekan kerjanya. Sedangkan aku kembali pada tugas yang menumpuk. Memang ya hobi guru killer itu kalau tidak menghukum muridnya, ya memberikan tugas yang banyak, katanya sih tanda cinta agar murid-muridnya belajar dan tambah pintar. Menurutku, kalau begini caranya bukan tambah pintar, tambah gila sih iya.
![](https://img.wattpad.com/cover/41381516-288-k923925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Teen FictionKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...