Sudah 1,5 jam aku duduk di depan Ayah dan Ibu tanpa memandang mata mereka. Benar, aku sedang dimarahi karena kemarin aku pulang sampai larut. Banyak sekali celotehan dan ceramah yang dilontarkan Ayah, saking banyaknya sampai aku sulit untuk mengingat ceramah positif yang Ayah luncurkan padaku. Yang aku ingat hanyalah Libra menghentikan mobilnya dan ia membangunkanku dari tidur, hanya itu, setelahnya aku tidak tahu apakah aku melayang sampai tempat tidur.
-FLASHBACK-
"Udah malem nih." Kataku saat keluar bioskop.
"Yaudah, mau langsung pulang?" Tanya Libra diikuti mulutnya yang terbuka lebar, dia mengantuk, aku tahu.
"Kuat nyetir? Ngantuk ya? Sini biar aku yang bawa." Pintaku mencoba merebut kunci mobil yang berputar di telunjuknya.
"Yaelah, bisa, tenang aja. Lagian emang kamu bisa nyetir?"
"Kalau mobil matic mah bisa."
"Biar aku yang bawa, matamu sayup." Kata Libra sambil menutup mataku dengan sebelah tangannya.
"Terserah deh." Kami pun sampai di parkiran mall yang sudah sepi. Bagiku yang parno akan hal-hal gaib, tanpa komando aku langsung mendekat, menempelkan diriku ke tubuh Libra yang berjalan dengan santainya.
"Kenapa sih? Sakit nih." Tanpa sadar aku mencengkeram tangan Libra dengan kuat. Bayangan film horor yang baru-baru ini aku tonton pun langsung bermain dalam pikiranku, dilengkapi dengan suara dari saluran angin yang menurutku, itu kelewat seram.
"Udah gede juga, masih takut gituan." Kata Libra enteng.
"Kan nggak tahu, bisa aja ada psikopat yang lagi ngincer kita, Kalau kita mati gimana?" Jantungku berdegup sangat kencang, bukan karena Libra, melainkan karena aku terlalu takut. Kakiku melemas, tetapi cengkeraman tanganku semakin kuat, aku bisa mendengar sesekali Libra meringis, aku tahu itu sakit tapi aku tidak mau menghiraukan ringisan Libra itu, aku sedang egois sekarang, aku mementingkan ketakutanku, berusaha menenangkan diri dengan mencengkeram lengan Libra tersebut.
"Mana ada sih psikopat di jaman modern gini." Kata Libra mencoba melepaskan cengkeramanku.
"Kamu parkir dimana sih? Kok kayaknya jauh banget?" Aku mengatakannya dengan bibir yang bergetar.
"Nah, itu aku lupa, di sini atau di atas lagi. Kamu sih, ganggu konsentrasiku kan."
"Aku kan nggak ngapa-ngapain." Kataku sambil meningkatkan tingkat kewaspadaan.
"Ini loh, ini." Libra menunjuk lengannya yang sudah memerah.
"Ah, masa megang aja nggak boleh?" Tanyaku dengan nada manja.
"Bukan nggak boleh, sakit, kamu megangnya nggak normal. Kenapa sih?" Tiba-tiba Libra berhenti dan mengubah posisinya menjadi di hadapanku, tangan kanannya masih terus aku genggam, kemudian tangan kirinya mengelus lembut tanganku yang menggenggam lengannya itu.
"Nggak." Aku masih dikuasai oleh ketakutanku.
"Nggak akan ada psikopat yang bakal bunuh kita, selama kamu nggak jauh-jauh dari aku, nggak akan ada yang nyentuh kamu, semut pun nggak boleh, nyamuk lalet, semua nggak boleh ganggu kamu, jadi jangan takut. Selain sakit, genggaman kamu nggak normal Alika, bisa gila aku karena tanganmu." Kata Libra sambil melepaskan tanganku yang melemas. Ia membungkukkan tubuhnya agar tingginya setara dengan tinggiku, saking dekatnya aku bisa mencium parfum yang awet dari lehernya. Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya ke arah ku, aku mematung, menahan nafasku, aku sulit berfikir, saraf reflekku seolah mati, aku tidak bisa menghindar. Wajahnya mendekat dengan perlahan, yang ku bisa hanyalah memejamkan mata berharap ini berakhir dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Fiksi RemajaKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...