Part 5: Senja

1.9K 127 3
                                    

Semenjak malam itu, aku dan Libra menjadi lebih akrab, ia lebih sering dan berani untuk mengajakku pulang bersama, terkadang ia mengajakku keluar hanya sekedar untuk menikmati kopi panas di sebuah kedai kecil dekat komplek, berlatar belakang pinggiran kota jakarta, kami selalu memesan kopi yang sama setiap kami mengunjungi kedai tersebut, ya segelas caramel macchiato dengan ekstra cookie. Sambil bersenda gurau, satu gelas kopi panas itu bisa habis dalam 2 jam, tidak jarang ia mencurahkan masalahnya padaku, memintaku memberikan nasihat atau pendapat, walaupun pada akhirnya ia suka kurang setuju dengan pendapatku. Bisa dibilang Libra itu keras kepala. Kami juga sering pergi menonton di sebuah bioskop murah dekat sekolah, atau menyetel koleksi film legendaris yang kami punya di dalam rumah pohonnya, proyektor yang dulunya hanya dipakai untuk menghitung bintang kini berubah fungsi menjadi bioskop pribadi milikku dan Libra.

***

Siang itu, aku makan di kantin bersama Wenda dan Gia, tiba-tiba kak Dio datang membawa kak Augy dan satu teman yang aku tidak tahu namanya. Mereka memesan segelas minuman kemudian duduk di meja yang aku duduki bersama Wenda dan Gia. Kami bertiga pun saling bertatapan, mempertanyakan apa yang akan dilakukan oleh ketiga senior kami ini, Gia memberikan ku isyarat untuk bertanya kepada kak Dio, tapi sebelum aku membuka mulut, kak Dio sudah bersuara seolah menjawab semua pertanyaan kami bertiga.

"Al, nanti pulang sekolah ikut nongkrong yuk?" Ajak kak Dio.

"Eh?" Aku langsun teringat akan janjiku pada Libra yang akan menemaninya membeli hadiah ulang tahun untuk Aries.

"Kenapa? Nggak sibuk kan? Yaudah nanti gue tunggu ya depan gerbang pulang sekolah." Kak Dio pun pergi meninggalkan kantin diikuti dengan 2 sahabatnya.

"Gila lo Al, udah diajak nongkrong aja sama kak Dio, kode tuh Al." Kata Gia sesaat setelah kak Dio pergi.

"Kok nggak kasih jawaban yang pasti sih? Malah bilang 'Eh?'." Kata Wenda.

"Gue udah punya janji sama Libra sore ini, payah nih." Kataku.

"Ya harusnya tadi tolak aja." Kata Wenda.

"Lah tadi lo ada kan pas dia ngajak? Emang gue dikasih waktu buat jawab haaa?"

"Iyasih." Kata Gia sambil mengahabiskan makanannya.

"Mampus deh gue."

Kami pun kembali ke kelas untuk melanjutkan jam pelajaran. Selama 2 jam itu, aku tidak bisa fokus pada pelajaran sama sekali, ya aku memikirkan sore nanti, pilihan mana yang akan aku ambil.

'Apa nongkrong sama kak Dio aja ya? Kan asik deket sama senior-senior. Eh tapi kan gue udah janji sama Libra, janjinya juga udah lama lagi, bisa-bisa dia nggak percaya lagi sama gue. Tapi kalo gue ketawan jalan sama Libra, nanti dia yang kena, kaki tangannya kak Dio kan banyak, um tapi Libra orangnya kuat kok, nggak mungkin tumbang di depan kak Dio lah. Jadi.. Sama Libra aja deh, lagian gue janji kan, nggak mau gue ingkar sama dia, dia udah baik banget sama gue, daripada kak Dio Cuma sekedar tebar pesona di depan gue, paling nanti dia bakal pamer ini itu depan gue, males.'

Setelah bel berbunyi, tanpa berpamitan kepada Wenda, Gia ataupun yang lainnya, aku langsung berlari menuju tempat parkiran motor. Aku memilih jalur memutar yang agak jauh agar mempersempit kemungkinan akan berpapasan dengan kak Dio. Sambil menengok ke kanan dan kiri, siapa tahu ada kak Dio atau teman-temannya, dengan perlahan aku mendekati motor merah milik Libra. Belum, aku belum melihat Libra, ataupun kak Dio. Gugup dan takut bercampur menjadi satu, keringat pun mengucur di balik seragam sekolahku, tiba-tiba.. Greb!

It Was Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang