Windra meletakkan cangkir berisi caramel macchiato panas di atas meja selagi aku menatap jalanan basah di luar jendela. Ini cangkir ku yang ketiga. Windra sampai ragu untuk menerima pesananku yang ketiga ini.
"I don't know what your problem is, Alika. But you shouldn't drink too much." Windra mengatakannya sambil duduk di kursi depanku. Windra memang masih muda, kutebak usianya masih 19 atau 20 tahun, tetapi kemampuannya untuk membaca suasana hati tiap pelanggan cukup luar biasa. Dari anak remaja sepertiku, sampai orangtua seumur Opa dan Oma ku.
"Coffee makes me think clearly." Jawabku.
"Its about your boyfriend, right?"
"He's not, Ndra."
"Saya tahu ini diluar batas, tapi saya hanya ingin membantu untuk melegakan perasaanmu, Alika." Windra mengatakannya padaku lembut, persis seperti Ayah.
"I don't know Ndra, I just need my time."
"Okay, I'm sorry. And for your coffee, that's for you." Windra pun meninggalkan ku sendirian.
Ini sore keempat aku duduk di kafe Windra, hanya memesan 1 jenis kopi dan duduk di kursi yang sama selama 4 hari berturut-turut. Memandang kosong jalanan yang 4 hari ini selalu di guyur hujan. Windra berkali-kali menegurku karena melamun, berkali-kali juga ia memberikan cookie gratis padaku, mungkin bagi orang lain cookie dan kopi gratis adalah suatu yang menguntungkan, tapi bagiku, semua hal gratis itu membuatku malu untuk kembali ke kafe Windra ini.
"Saya jatuh cinta."
Kata-kata itu kembali terngiang di telingaku.
'Pada siapa?' Sebelum aku diberikan kesempatan bertanya, sambungan telepon itu sudah terputus.
Setelah pesan itu, selama 4 hari aku tidak pernah berhubungan dengan Libra lagi. Yang ku tahu hanyalah dirinya yang sedang pergi jauh, karena 3 hari yang lalu aku melihat mobil besarnya lewat di depan kafe. Tanpa sadar aku menitikkan air mata, yang makin lama semakin deras. Aku terisak, untungnya saat itu kafe tidak ramai, hanya ada Windra dan seorang barista lain, juga kakek-kakek yang lebih sibuk dengan walkman nya. Windra memberikanku beberapa lembar tissue dan mengusap-usap punggungku lembut. Aku tak menghiraukan sentuhan lembut telapak tangan Windra itu, aku tetap menangis sesukaku. Bisa jadi Windra heran mengapa tiba-tiba aku menangis, mungkin kau juga? Huh aku saja tidak tahu mengapa alasanku menangis saat ini, aku hanya meluapkan emosiku, emosi yang sangat tidak bisa dijelaskan.
Setelah aku sudah lebih tenang, Windra permisi mau kembali ke balik mesin kasirnya. Selain karena emosiku yang sudah stabil, di sana juga berdiri pelanggan lain yang mau menikmati kopi racikan Windra Aditama. Aku menggapai handphone ku yang tergelatak di sebelah cangkir yang kini sudah menjadi dingin, membuka salah satu aplikasi messenger dan mencari grup yang berisi aku dan 2 sahabatku. Ku buka icon group yang menampilkan aku, Gia dan Wenda sedang berada di tengah-tengah landasan ice skating di salah satu mall di Jakarta. Aku ingat, itu hari pertama Wenda menoba olahraga ini, dirinya sangat gugup lantaran takut terpeleset dan terjatuh, tetapi disitulah peran sahabat bermain, aku dan Gia senantiasa menuntun Wenda dari pinggir hingga ke tengah landasan. Selama 2 jam, setidaknya Wenda sudah berani untuk meluncur sendiri, meski belum selancar aku dan Gia.
'Oh, disitu peran sahabat, di kala susah mereka pasti mau membantu apapun itu masalahmu.'
Begitu aku membuka chat room yang sudah lama terlantar, aku membaca satu tautan.
Wenda Fransiska left the group.
Aku baru ingat, waktu itu aku terlena dengan pesona Libra yang tertidur pulas di atas pahaku sehingga aku tidak sempat memikirkan tindakan Wenda. Kemudian kuurungkan niat untuk mengirim pesan di grup tersebut. Aku mengklik personal profile nya Wenda.
![](https://img.wattpad.com/cover/41381516-288-k923925.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Ficção AdolescenteKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...