Libra mengendarai motornya di tengah kemacetan Kota Jakarta. Menuju sebuah rumah bergaya Eropa di bilangan Pondok Indah. Suasana hatinya kacau, Libra menitikkan air matanya yang segera terhapus oleh angin malam. Ia berhenti di depan rumah besar yang didominasi dengan warna putih. Rumah itu terlihat berpenghuni, ya setelah 1 tahun, setiap Libra melewati kawasan Pondok Indah, rumah itu terlihat begitu sepi. Kini lampu-lampu kuning menghiasi istana itu, para penjaga berseragam hitam berdiri di sekelilingnya, seolah menjaga puteri kerajaan di dalamnya.
Setelah menjalani pemeriksaan singkat, Libra memasuki foyer. Auranya masih sama seperti 1 tahun lalu saat ia terakhir berkunjung. Libra membiarkan salah satu pelayan membukakan jaketnya, sedangkan matanya tertuju pada seorang gadis bergaun peach yang sedang berjalan menuruni tangga.
Dadanya terasa sesak kala gadis itu mendekat. Seolah dunia berhenti, Libra kemudian membenamkan wajahnya pada bahu gadis yang terbuka itu. Gadis yang dipeluknya mematung, tangannya terasa dingin dan kaku, beberapa peluh jatuh dari atas keningnya. Pelukan Libra begitu erat seolah-olah ingin melahap habis tubuh kecil gadis itu, membuat matanya tergenang oleh air haru yang sulit untuk di tahan.
"Rana." Ucap Libra lirih.
Rana masih berada dalam pelukan Libra. Keduanya menangis, melepaskan rindu yang terpendam selama 1 tahun. Tidak tahu sudah berapa lama waktu yang terlewat, Libra masih memeluk tubuh Rana. Berat rasanya untuk melepas pelukan itu, Libra tidak mau membiarkan Rana pergi. Libra tidak mau kehilangan lagi.
"Libra." Rana melepaskan lengan Libra yang sedari tadi memeluk tubuhnya. Mengajaknya duduk di sofa ruang tamu, ya tempat terjadinya kejadian itu. Tempat terputusnya hubungan antara Libra dengan Rana.
"We're not suppose to be like this." Ucap Rana pelan. "It's over, a year ago." Sambungnya sambil menghapus air mata Libra.
"Then, why were you come back?" Tanya Libra, tangannya menggenggam pergelangnan tangan Rana.
"It's not about you. I have some business."
"Such a Bullshit Rana!" Libra menggertak.
"I'm sorry, it's too late, you have to go home."
"I miss you Rana." Ucap Libra pelan. Libra pun berdiri, bermaksud untuk keluar dari rumah penuh kenangan manis itu.
"Maybe we can get some coffee together. Tomorrow?" Rana ikut berdiri. Ucapannya menghentikan langkah Libra. Kontan, Libra memutar punggungnya dan langsung mengecup lembut bibir tipis Rana.
"Dinner. I'll get you at 7." Libra pun berlari kecil ke arah foyer dan hilang di balik pintu. Sementara Rana mengangguk pelan sambil menyentuh bibirnya yang sudah lama tidak tersentuh itu. Kecupan yang selama ini ia rindukan. Tangan kirinya menahan dada yang tiba-tiba terasa sesak, air matanya bergulir lebih cepat dari apa yang ia bayangkan. Tubuh kecilnya runtuh di atas lantai, Rana menundukkan kepalanya serendah mungkin, sampai rambut ikalnya menutupi wajah gadis itu. Ia terisak, perasaan hatinya meluap, setelah 1 tahun, ia baru tersadar, keputusannya untuk meninggalkan Libra adalah keputusan terbodoh yang pernah ia buat, kini ia pun mengaku dalam diam, bahwa dirinya masih sangat mencintai Libra Rajatta. Ia menyesal.
***
Sambil membawa tas jinjing berisi 2 kotak makan, aku berjalan di koridor Rumah Sakit menuju kamar Wenda. Aku tersenyum, membayangkan Wenda dengan senyum manisnya melahap pasta kesukaannya ini, Fusilli Carbonara.
Brukk!
Aku menabrak dada seorang wanita setengah baya, saat aku mendongak, wanita itu tersenyum. Wajahnya familiar di mataku, ia ditemani seorang perempuan yang wajahnya tidak kalah familiar. Aku mengerjap, berusaha mengingat-ingat wajah kedua orang yang kutabrak ini. Ah! Bunda Nathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You
Ficção AdolescenteKau datang Membuat kebahagiaan juga datang Membuatku terbang menembus angkasa Menoreh senyum menuai tawa Kau yang pertama datang, kau pula yang pertama pergi Maukah kau sekali lagi menoleh kepadaku? Memberi senyum termanismu? Hei Libra Rajatta, liha...