Chapter 21 / Semangat Baru

90.8K 4.7K 150
                                    

Chapter 21 / Semangat Baru

-Vian's POV-

Mataku memandang keluar jendela sesekali. Aku sedang berada di kantor polisi, menunggu kabar kepastian Bian.  Mereka tiba-tiba membawa paksa Bian untuk memberi keterangan atas tindak kekerasan yang tertimpa Adrian.

Mereka menganggap kalau Bian adalah terdakwa dari segala masalah ini.

Aku terduduk lemas dikursi tunggu. Bian bilang kalau dia akan baik-baik saja, tapi semua ini nyata. Semuanya tidak baik-baik saja.

Adrian menggugat Bian dengan tuduhan tindak kekerasan. Para polisi akhirnya menangkap Bian. Menariknya bagai Bian bukanlah manusia.

Saat itu aku hanya bisa menangis, aku merasa aku bukanlah orang yang berguna. Disaat aku sakit, Bian lah yang selalu merawatku, disaat aku sedih, Bian lah yang selalu menghiburku. Tetapi sekarang, disaat Bian kesusahan, apa yang bisa aku lakukan? Tidak ada. Aku malah membuat suasana semakin memburuk. Aku yang membuat keadaan semakin kacau.

Aku tahu, disaat seperti ini air mata tidak ada artinya. Tangis yang keluar bagaikan sampah yang tak berguna. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdo'a dan berusaha.

Devin yang sedari tadi memandangiku dengan tatapan khawatir akhirnya membuka suara. "Bian pasti bisa ngehadapin semuanya. Kamu harus percaya sama dia." Ucapnya lirih.

"Dia terlalu baik buat ngerasain semua ini. Ini semua nggak adil." Aku semakin menundukkan kepalaku kebawah. Memandang jari-jariku yang sudah memucat.

Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu yang terbuka. Suara langkah kaki pun mulai terdengar. Dengan perlahan, aku menaikan kepalaku yang sedari tadi menunduk ke bawah.

Terlihat wajah Bian yang sedang tersenyum lembut menatap ke arahku. Dia menghampiriku secara perlahan sambil merentangkan tangannya. Aku yang masih kaget hanya bisa terpaku ditempat, tanpa aku sadari cairan hangat dimataku pun muncul kembali.

Tanpa menunggu lama lagi, aku berlari menghampiri Bian dan langsung membenamkan kepalaku di dadanya, menghirup dalam-dalam wangi Bian yang akan aku rindukan nanti.

Aku masih terisak pelan sambil sesekali terbatuk-batuk kecil. Bukannya melihat kesedihan Bian, aku malah disuguhi oleh kekehan dari Bian. Kekehan Bian yang sangat menyebalkan, tapi aku tidak akan mengelak kalau aku merindukan tawa menyebalkannya.

"Kamu lebay banget sih, sampai harus nangis-nangisan segala." Bian memandangku dalam sambil menghapus air mataku dengan tangannya.

Aku mendekatkan mulutku di telinganya dan membisik dengan pelan, "Ini tuh akting supaya polisi rese itu ngebolehin aku ketemu sama kamu."

Tawa Bian pun semakin pecah. Bahkan air mata mulai turun dari ujung matanya karna terlalu banyak tertawa.

Ya, dari tadi aku memulai aksi gilaku, menangis meraung-raung di depan kantor polisi memohon belas kasihan agar bisa dipertemukan dengan Bian.

Sebenarnya tidak semua yang aku lakukan tadi adalah akting, tapi aku terlalu malu untuk mengakui segalanya. Hei, aku hanya tidak mau anak itu semakin besar kepala.

Lagipula, mau dikemanakan image kalem dan susah di dapatkan yang aku punya ini?!

Tangan Bian mengelus-elus kepalaku dengan lembut sebelum tiba-tiba aku merasakan jitakan keras di kepalaku.

"Hei! Buat apa sih kamu jitak jitak?!" Aku memukul tangan Bian dengan keras. Tapi bukannya merintih kesakitan Bian malah memeletkan lidahnya kepadaku.

"Kamu tuh malu-maluin banget tahu gak? Aku jadi bahan omongan sekepolisian sini." Bian mengomel tidak jelas dihadapanku. Bukannya waktu ini dipakai untuk sayang-sayang anak bodoh ini malah mengomeliku.

Ain't It Love, Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang