Chapter 23 / Persidangan

126K 5.1K 96
                                    

Chapter 23 / Persidangan

-Bian's POV-

Entah sudah berapa lama aku berada di tempat sialan ini, sebenarnya ini bukanlah masalah tidak enaknya tempat ini, tapi memangnya ada orang yang betah di tempat seperti ini? Pasti ada rasa rindu untuk keluarga yang sudah kita tinggalkan.

Begitu juga aku. Aku merindukan keluargaku, mama dan papa, teman teman konyolku, dan juga Vian.

Vian..

Mendengar namanya saja sudah bisa membuatku berdetak. Lama-lama tingkahku sudah mirip dengan tingkah anak anak remaja yang sedang jatuh cinta. Yang kalau dengar lagu cinta aja udah bawa perasaan.

Hari ini adalah sidang yang akan aku jalani sebagai tersangka tindak kasus kekerasan. Entah bagaimana aku bisa membantah tuduhan yang Marco dan komplotannya kepadaku. Semua bukti yang ingin aku tunjukkan sudah hilang dicuri oleh mereka. Aku benar benar tidak tahu apa yang akan aku lakukan sekarang.

Aku digiring oleh para polisi ini ke pengadilan tempat aku akan disidang. Aku bahkan tidak tahu apa yang nanti akan aku kemukakan, toh kalaupun aku memberi tahu kebenarannya, mereka tidak akan percaya tanpa adanya bukti yang kuat. Shit, aku bahkan tidak tahu apa yang aku tidak tahu.

Aku masuk kedalam pengadilan ini dengan tenang, sama sekali tidak menampilkan emosi yang berlebih. Aku bisa melihat Defin yang sedang serius membaca beberapa data penting, dia adalah pengacaraku, walaupun wajah anak itu tidak meyakinkan tapi dia termasuk pengacara terbaik di negeri ini. Aku juga bisa melihat orang tuaku yang menunjukan tatapan kekhawatirannya kepadaku. Aku melemparkan senyum menenangkanku kepada mereka.

Aku memerhatikan sekelilingku, mencari perempuan yang sudah lama mengambil hatiku. Aku mencarinya diseluruh ruangan, hasilnya nihil. Dia tidak terlihat dimana-mana.

Hatiku mencelos perih. Aku masih ingat, Vian berjanji akan menghadiri sidang perdanaku ini. Tapi aku tidak boleh berpikiran buruk, mungkin saja dia terlambat? Ya, aku yakin dia terlambat.

Aku pun duduk di satu kursi yang disediakan di tengah-tengah ruangan. Tidak pernah dalam seumur hidupku, aku terpikir akan merasakan keadaan seperti ini. Keadaan dimana aku menjadi terdakwa seperti ini.

Beberapa menit kemudian, ketua majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan pun memasuki ruangan, diikuti oleh 2 hakim anggota lainnya.

Dari ujung mataku, aku dapat melihat Adrian sedang duduk dikursi korban, di dekat pengacaranya. Mukanya terlihat pucat pasi. Dia terlihat tidak yakin atas apa yang dia lakukan saat ini.

Aku lalu melihat kejajaran kursi belakang tempat terdapat banyak orang yang menonton jalannya persidangan, sidang ini memang termasuk kedalam sidang terbuka.

Disanalah dia.

Dengan seringaian jahatnya dan mata tajamnya yang memandang kearahku dengan pandangan penuh kemenangan. Aku dapat melihat senyum meremehkannya yang dia tunjukkan kepadaku. Ya, dia adalah Marco.

Sepertinya dia sangat antusias melihat kejatuhanku, bahkan aku bertaruh kalau sesudah sidang ini selesai, dia pasti akan langsung berpesta pora merayakan kemenangannya itu.

Hakim itu pun dengan sah memulai jalannya persidangan, mula-mula dia menanyakan identitas diriku dan pengacaraku, Defan dan menanyakan hal-hal umum yang menjadi prosedur jalannya persidangan.

Jaksa Penuntut Umum pun mulai membacakan surat dakwaan. Kasus pidana kekerasan, katanya. Hei, aku tidak salah kan, meluapkan emosiku setelah semua tekanan dan kejadian yang terjadi padaku?

Tapi aku tidak menundukkan kepalaku, kepalaku ku tegakkan sambil memerhatikan dan mendengarkan surat dakwaan yang dibaca Jaksa Penuntut Umum itu. Aku tidak mau memperlihatkan keterpurukanku dihadapan mereka, terutama Marco. Aku tidak mau dia puas akan semua hal yang telah dia lakukan kepadaku.

Ain't It Love, Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang