Chapter 11 / Kenyataan Manis?

129K 6.7K 147
                                    

Chapter 11 / Kenyataan Manis?

Sudah seminggu ini, Bian selalu menjenguk Vian. Bahkan tidak jarang Bian membawa pekerjaan kantornya ke Rumah Sakit. Tapi kelakuan Vian terhadap Bian tidak berubah, selalu jutek dan tidak jarang Vian mengusir paksa Bian.

Bian sendiri selalu kukuh tidak mau beranjak dari RS. Bahkan perhatian Adrian dulu tidak ada apa apanya dengan Bian.

Bian selalu berusaha bersikap romantis dan manis terhadap Vian. Tapi semua usahanya tidak membuahkan hasil.

Pagi ini, Bian membawakan setangkai bunga tulip berwarna pink kesukaan Vian. Tapi seolah tidak peduli, Vian langsung membuangnya di tong sampah tepat didepan mata kepala Bian sendiri. Bian melihat hal itu hanya bisa mengelus elus dadanya.

"Vi, masa aku udah capek capek nyari bunga nya, malah dibuang? Tau gak? Aku nyari bunga itu kepenjuru kota gak dapet dapet. Akhirnya aku dapet sesudah 1,5 jam keliling jakarta." Ucapku sambil menatap bunya yang sudah berada di tempat sampah itu dengan pandangan putus asa.

"Suka suka dong."

"Yaudah deh, kamu mau makan apa hari ini? Pasti kamu gak mau makanan RS? Nih aku bawa bubur sumsum. Enak lho." Bian mengambil sesendok bubur sumsum itu dan memainkannya seperti pesawat pesawatan didepan Vian. "Ayo dong, dibuka mulutnya! Kasian nih pesawatnya keburu abis bensin, nanti jatuh." Lanjutnya.

"Aku bukan anak TK! Aku bisa makan sendiri. Siniin buburnya!" Vian berusaha menarik tangan Bian.

"Eits. Gak bisa gitu. Aku yang suapin kamu! Aaaaa buka mulutnya dong." Bian memangap mangapkan mulutnya memberi contoh kepada Vian supaya Vian mau membuka mulutnya juga.

"Kamu rese! Aku ga-" Belum juga Vian melanjutkan perkataannya, Bian sudah menjejalkan sesendok bubur sumsum itu tepat dimulut Vian.

"Khamhu sialhman banghmet." Vian bergumam tidak jelas sambil mencoba menelan bubur itu.

"Ditelen dulu, baru ngomong lah, Vi. Aneh aneh aja kamu." Bian menggelengkan kepalanya dan mencubit gemas pipi Vian. "Makan bakpao terus ya, kamu? Mulutnya gembil banget kayak panda."

"AAAAA BIAN! AKAN KUBUNUH KAU!" Suara Vian terdengar menggelegar didalam kamar itu.

"Kalau dibunuhnya pake cinta, aku rela kok. Hehe." Bian malah cengengesan sambil menggaruk garukan lehernya tidak gatal.

Pemandangan tersebut sudah sangat biasa terjadi dikamar itu. Tidak jarang pasien dikamar sebelah merasa terganggu dan menegur mereka. Kalau sudah seperti itu, biasanya Vian akan mendiamkan Bian seharian.

*****

Disaat matahari mulai digantikan oleh bulan, Bian berdiam diri disebelab Vian sambil menatap mencoba menengkannya. Vian sempat khawatir, dia takut kalau kakinya itu tidak akan bisa dipakai sampai bulan depan tapi untungnya Bian bisa meyakinkan Vian kalau semuanya akan baik baik saja.

Kadang Vian suka sekali dengan keadaan tenang seperti ini. Apa lagi saat berada disebelah orang yang dia sayang. 'Bukan berarti aku sayang dengan Bian, oke?' Dengus Vian dalam hati.

Vian pernah menonton disebuah film. Mereka bilang, 'Terkadang kau tak perlu berjalan dengan sepatu orang lain untuk tahu perasaan mereka. Terkadang, hal terbaik yang bisa kau lakukan adalah duduk disamping mereka.' Dan sepertinya ungkapan tersebut sangat amat Vian setujui.

Walaupun keadaan sore ini sangat hening, tapi tidak ada kecanggungan diantara mereka. Walaupun Vian mulai risih karna di tatap tajam terus oleh Bian.

Sampai pintu Rumah Sakit tiba tiba terbuka.

Berdirilah seorang Adrian yang sedang memegang sebuket bunga mawar berwarna merah.

Bian mendelikan matanya melihat Adrian yang menurutnya cari perhatian. Berbeda dengan Bian, Vian terlihat tersenyum senang melihat Adrian.

Ain't It Love, Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang