Chapter 9 / Rumah Sakit
Keadaan diruang tunggu itu semakin mencekam. Radit yang asalnya sangat tenang mulai terlihat gelisah. Wajar saja, Radit sangat menyayangi adik semata wayangnya itu. Bahkan orang tua Bian yang juga menunggu Vian dirumah sakit mulai khawatir dengan keadaan Vian.
Bunda Vian terus menangis histeris didekapan ayah Vian. Bahkan ayah Vian yang sedang menenangkan istrinya itu sama sama tidak tenang.
Dipojok ruangan, terlihat Bian yang sedang bersender ditembok sebelah ruang ICU. Muka Bian terlihat datar. Tapi siapapun yang melihat matanya yang hitam, mereka pasti tahu kalau Bian tidak kalah khawatirnya. Bian hanya tidak mau keadaan semakin rumit. Kalau semua orang tidak bisa mengendalikan dirinya, siapa yang akan mendukung Vian agar cepat sembuh?
Saat salah satu dokter yang keluar ruangan ICU. Bian langsung menghampirinya, karna semua orang terlihat sangat tidak fokus.
"Bagaimana keadaan Vian, dok?" Tanya Bian tenang walau matanya beberapa kali sekali melirik pintu masuk ke ruang ICU tempat Vian berada.
Dokter itu hanya tersenyum sebagai jawaban, kepada Bian. "Bisa tolong keluarganya ikut saya keruangan saya?" Tanya dokter itu kemudian.
Bian langsung menatap Radit, memberi kode karna dokter membutuhkan salah satu keluarga Vian.
"Baiklah dok. Bi, lo ikut aja sama gue." Radit mulai berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri mereka berdua.
Akhirnya mereka memasuki ruangan dokter tersebut. Ruangan serba putih yang walaupun terhirup bau obat, tapi ruangan ini memberi sisi nyaman karena dekorasinya yang hommie.
Terdapat foto anak anak disetiap sudut ruangan. Bisa ditebak bahwa anak anak itu adalah cucu dari dokter tersebut.
"Jadi ada apa, dok?" Tanya Radit sambil menatap dokter tersebut was was.
"Pasien mengalami hipotermia karna tubuhnya ditempatkan di suatu suhu yang sangat dingin. Dan ada beberapa luka robek disekujur tubuhnya. Kaki kiri nya juga patah karna sepertinya pasien terkilir beberapa kali dan terjatuh hebat." Dokter berbicara dengan tenang sambil menunjukan beberapa hasil ronsen kepada Bian dan Radit. "Tapi semua itu sudah kami tangani. Untung Anda membawa pasien tepat waktu, karna kalau tidak, pasien ini bisa mati kedinginan." Lanjut dokter itu kemudian.
"Jadi Vian sudah bisa pulih, dok? Dia sudah siuman?" Tanya Bian serius.
"Pasien belum siuman, kalau sampai besok pasien belum juga siuman, akan dilakukan tindakan lanjutan untuk pasien ini. Tapi untuk sekarang, pasien sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap."
"Oh baiklah dok, selamat malam." Bian langsung berdiri dari tempat duduknya dan mulai berjalan keluar ruangan
Bian berjalan dikoridor rumah sakit dengan tenang. Setidaknya dia tahu bahwa keadaan Vian baik baik saja saat ini. Dia juga tidak akan pernah melepaskan pengawasannya untuk menjaga Vian.
Bahkan Bian rela meregang nyawa demi Vian. Mungkin banyak orang yang berkata kalau semua itu dusta, tapi Bian berani bersumpah kalau dia akan melakukan apa saja demi Vian bahagia. Apa saja. Termasuk jika pada akhirnya Vian memintanya untuk menjauhinya.
Dia tidak peduli.
Yang pasti, dia akan tetap menjaga Vian.
Sebenarnya sudah beberapa kali orang bilang kepada Bian kalau perbuatan Rossalyn selalu seperti itu terhadap karyawan lain. Tapi Bian tidak terlalu memusingkannya karna dia belum pernah melihat buktinnya. Tapi sepertinya semua tindakan Rossalyn tidak pernah baik.
Bian akan memastikan hidup Rossalyn dan antek anteknya tidak tenang untuk beberapa tahun kedepan. Mungkin sampai Vian tahu, karna jika Vian tahu, Vian akan langsung memohon kepada Bian untuk memaafkan Rossalyn. Vian terlalu baik dan Bian terlalu bodoh karna pernah menyia nyiakan Vian dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ain't It Love, Boss?
RomanceBagaimana rasanya jika bos mu adalah mantan pacarmu? Pacar yang sangat dingin kepadamu? Bahkan dia tidak pernah bersikap manis kepadamu? Um.. sebenarnya dia pernah bersikap manis sih, TAPI kamu bahkan bisa menghitungnya dengan jari selama kau berpac...