Chapter 22 / Hanya Sandiwara

88.1K 4.3K 47
                                    

Chapter 22 / Hanya Sandiwara

-Vian's POV-

Disinilah aku, berdiri di depan pintu apartemen Adrian. Aku melakukan ini demi Bian juga. Sungguh.

Ya, anggap aku gila untuk melakukan hal ini. Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan demi membebaskan Bian?

Sebenarnya Bian sudah melarangku melakukan ini semenjak pertama kali dia mendengarnya. Tapi aku adalah Vian, Viana Putri Alriza. Perempuan keras kepala yang jika sudah mempunyai suatu tujuan, tidak akan ada orang yang bisa menghalanginya.

"Lho, Vian? Ngapain kamu ada disini?" Terdengarlah suara Adrian dari dalam apartemennya. Dia mulai keluar dari tempatnya dan menghampiriku.

"Vian? Kamu kenapa? Siapa yang nyakitin kamu?" Adrian bertanya dengan muka khawatirnya. Aku memang sedang menangis sekarang, menangis tersedu-sedu di depan apartemennya. Sebenarnya hal ini juga sudah termasuk kedalam rencanaku.

"Adrian.. aku gak bisa." Aku berkata pelan sambil masih menangis. Aku menatapnya tepat dimata. Aku bisa melihat sinar kekhawatiran dan juga cinta didalamnya. Bodoh sekali aku, baru sadar kalau sebenarnya Adrian mempunyai perasaan spesial untukku.

Dari dulu aku terlalu dibutakan oleh perasaanku kepada Bian sehingga aku tidak pernah peka terhadap perasaan Adrian kepadaku. Aku selalu berpikir kalau hubungan kita hanya di dasari oleh pertemanan. Sekarang masalah pun sudah semakin rumit. Adrian yang dulu sudah diganti oleh Adrian yang baru. Adrian yang berhati es, Adrian yang bisa menanipulasi keadaan. Cinta memang bisa merubah segalanya.

"Kamu gak bisa apa, Vi?" Adrian mulai menepuk-nepuk pundakku demi menenangkan ku.

"Aku.. aku udah gak cinta sama Bian. Perusahaan sudah diambang batas. Bian juga sekarang ada di kantor polisi. Aku gak bisa ngeliat masa depan aku sama Bian, Yan." Aku berkata dengan terpatah-patah. Aku tidak ingin berbohong kepadanya, sungguh. Tapi hanya ini satu-satunya cara untuk membebaskan Bian. Aku tidak tahan lagi melihat masalah yang banyak itu menyerang Bian. Dan memikirkan Bian tertidur diatas dinginnya sel penjara tambah membuatku takut.

"Maksud kamu apa, Vi?" Adrian bertanya dengan hati-hati. Aku bisa melihat matanya yang asalnya redup bersinar kembali. Aku tidak bisa membayangkan sinar dimatanya itu redup kembali, atau malah lebih parah. Dan aku tidak bisa membayangkan jika penyebab sinar dimatanya redup adalah aku.

Sejahat apakah aku?

"Aku lebih milih kamu." Aku langsung memeluknya erat. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar sangat cepat. Aku tidak sanggup melakukan ini. Aku tidak bisa menyakiti Adrian. Aku tahu rasanya sakit hati, rasanya menelan pil pahit kehidupan. Rasanya sakit.

"Kamu serius?" Aku bisa merasakan hembusan nafasnya dileherku. Dan aku bisa menyimpulkan kalau Adrian sedang tersenyum sekarang. Senyum tulus yang sering aku lihat dulu.

"Aku gak pernah ngerasa seserius ini." Aku membalas senyumannya dengan kata-kata hangatku dibarengi oleh senyum semuku.

Aku menyayangi Adrian. Bukan dalam artian laki-laki terhadap perempuan, tapi sebagai teman, bagai saudara.

Beberapa menit berposisi seperti ini, akhirnya Adrian mempersilahkanku masuk ke dalam apartemennya. Aku melihat-lihat apartemennya, terlihat hangat dan nyaman. Ruangan-ruangan disini juga sangatlah rapi dan bersih. Sangat berbeda jauh dengan apartemen Bian yang isinya seperti di kandang babi, pantas saja kadang kelakuannya sudah sama seperti binatang berhidung lucu itu. Bedanya hidung Bian mancung.

Mancung kedalem.

Enak saja aku memuji Bian, bisa besar kepala dia jika dengar.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri gitu?" Tanya Adrian sambil menaikan alisnya. Mata hitamnya memandangku dengan pandangan bertanya. Bahkan saat Bian tidak ada, dia tetap bisa membuatku terserang wabah menakutkan ini yang ditandai dengan kondisi awal senyum-senyum sendiri. Lalu kemudian apa? Kayang sendiri? Lama-lama aku bisa jadi anggota sirkus.

Ain't It Love, Boss?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang