Chapter Three

228K 4.1K 33
                                    

Cameron Blake (Young, Sexy, Powerful, and Dangerous.)

All rights reserved to SweetImagination

Chapter Three

"Gila!" Ahmad menatap mataku lewat refleksi di kaca. Aku masih sibuk merapihkan pakaianku dan Ahmad berbaring di atas kasur. "Kenapa sih di pikirin banget?"

Aku memusatkan perhatianku ke dasiku, aku harus terlihat perfect malam ini. Akan ada banyak media, bahkan channel FashionTv dan E! Akan meliput aku dan daddy.

"Diamlah, aku sedang sibuk." Jawabku, ketus. Berharap Ahmad akan shut up.

Dia melemparkan bantal ke arahku. "Ini gak bisa dibiarin. Secantik apa sih dia?"

Aku membalikkan badan agar bisa menatap mata Ahmad langsung. "Aku menyukainya. Itu saja."

"Tapi, kalian baru bertemu satu malam. Bagaimana kamu bisa menyukainya?" Tanya Ahmad.

"SHUT UP!" Bentakku kepada Ahmad.

"Son?"

Aku menoleh ke arah pintu saat melihat daddy masuk. Menggunakan jas nya. Dia masih terlihat gagah.

"Kau sudah siap?" Tanya nya.

Aku melihat ke kaca, dan tersenyum puas dengan apa yang ku lihat. "More than ready."

------

"Mr. Blake, kau lebih memilih Indonesia atau Amerika?"

Daddy menoleh kepada wartawan tersebut lalu tertawa. "Tidak bisakah kau menanyakan hal yang lebih penting?"

"Mr. Cameron Blake, apa menurutmu yang bisa membuat seseorang sukses?"

Aku merapihkan dasiku lalu berdehem. "Kesadaran akan keahlian diri sendiri. Itu kuncinya. Kau mengetahui keahlianmu berarti kau mengetahui apa yang bisa kau lakukan. Dan itulah yang akan membuatmu sukses."

"Mr. Cameron Blake, apakah kau sudah memiliki pasangan?"

"Untuk saat ini belum, aku tidak ingin memikirkannya." Jawabku.

Pertanyaan demi pertanyaan. Dan akhirnya, aku dan daddy bisa masuk ke Grand Hotel tersebut.

Aku dan daddy berjalan berdampingan. Kita berjalan menuju meja prasmanan dan mengambil segelas martini. Ayahku mengangkat gelas dan mencondongkan nya ke arah ku. "Cheers, to my son's charm."

Aku tertawa kecil kepada daddy. Aku menaruh tanganku ke punggung nya dan mengiringnya berjalan ke kerumunan. "Dad, thank you."

"Untuk apa?" Tanya nya.

"Untuk menjadi ayah yang baik untukku dan Denisa." Ucapku.

Ayahku tersenyum bangga dan menepuk pundakku. "Aku hanya tidak ingin melakukan hal yang sama yang dilakukan kakek mu kepadaku. Terlalu sibuk bekerja sehingga aku menjadi binatang buas."

"Aku sungguh beruntung-"

Mata itu. Aku tak sengaja melihat mata itu di balik punggung ayahku. Mata itu.

"Cameron? Cam? Are you alright?" Tanya ayahku.

Aku terpanah dengan mata itu. Aku menaruh gelas martini itu di lantai lalu berjalan menuju sepasang mata yang menyihirku itu.

"Hey!" Teriak seseorang yang aku tabrak saat aku berjalan.

Aku hanya menoleh sedikit dan kembali berjalan menuju kedua pasang mata itu. Tak lama kemudian, kedua mata itu bertemu denganku. Aku tersenyum kepadanya. Dia mencoba untuk memalingkan pandanganku. Tiba tiba aku menyadari bahwa wajah itu tertutup kain hitam. Dia menggunakan cadar?

Aku sekarang sudah satu meter lagi untuk sampai dan memeluknya.

"Astagfirullah." Suara maskulin membutku terbangun dan sadar.

"Ya?" Jawabku.

"Jangan memandang adikku seperti itu. Kau tidak bisa melihat cadarnya? Kau tahu apa arti cadar, kan?" Ucapnya sedikit kasar.

"Siapa kau?" Tanyaku datar kepada lelaki tersebut.

"Aku? Siapa kau? Berani berani nya menanyakan hal itu."

Aku memalingkan pandangan dan kembali menatap kedua pasang mata itu. "Aku," aku menarik napas karena dada ku terasa sesak, ada sesuatu du matanya, something magical. "Cameron Blake. CEO in Blake Enterprise."

"Yaa akhi, aku tak peduli perusahaan apa yang kamu miliki. Tinggalkan adikku sendiri. Harram untuk menatap mata lawan jenis yang bukan muhrim mu." Ucap lelaki tersebut.

Aku mengedipkan mata, meyakinkan bahwa kedua mata itu asli. Dan tetap saja, itu asli.

"Bisakah kau buka cadar-mu?"

----

"Aku tidak percaya apa yang baru saja kau lakukan, Cameron Blake." Bentak ayahku. "Apa yang kau lakukan sehingga dia memukul mu?"

Aku sedang berada di mobil. Kita sedang menuju ke rumah kita di Jakarta Selatan. Aku masih memegangi pipiku yang sudah memar. Terkutuk pria arab itu!

"Aku tidak ingin membicarakan nya, yah." Ucapku.

"Well, Cameron Blake. Aku harap kau mengerti bahwa ayahmu ini berhak tahu." Ucap Ayahku.

Aku hanya terdiam. Menunggu untuk ocehan nya datang lagi.

VOTE AND COMMENT PLEASE! MAKE SURE TO SHARE THIS STORY TO YOUR FRIENDS!

Cameron BlakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang