4 •masa depan Ria•

2.5K 217 0
                                    

"Kau lama sekali" ucap Ria sebari cemberut.

"Maaf" ucap Dania sebari tersenyum.

"Ayo kita pergi" ajak Dania.

"Kemana?" tanya Ria.

"Taman" ucap Dania Sebari tersenyum lebar.

"Taman itu apa?" tanya Ria polos. Dania hanya menepuk keningnya, lalu menarik lengan Ria.

Orang-orang di asrama memandangi Dania dan Ria yang sedang berlari sebari bergandengan tangan.

Tidak butuh beberapa menit, mereka sampai disuatu tempat.

"Inilah yang disebut taman" ucap Dania sambil merentangkan tangannya.

"Jadi ini yang disebut taman" ucap Ria sebari mengagumi pemandangan taman wizard school.

Ria dan Dania duduk disalah satu bangku.

"Bagaimana? Indah, 'kan?" tanya Dania.

"Sangat" ucap Ria masih mengagumi taman itu.

"Hahaha" tawa Dania pecah.

Ria heran dengan Dania yang tiba-tiba tertawa.

"Kenapa kau tertawa, Nia?" tanya Ria sebari menaikkan sebelah alis matanya.

"Kau itu orang yang aneh" ucap Dania sebari tersenyum.

Kedua kalinya Ria dibuat heran oleh Dania.

"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Ria.

"Aku ingin hidup damai" ucap Dania sebari menutup matanya, Membiarkan angin menerpa wajahnya.

"Perkataan aneh macam apa itu?" tanya Ria yang sudah pusing, karena Dania mengubah topik pembicaraan.

Hening sesaat, Dania belum membuka kelopak matanya.

"Dania, kau tidur?" tanya Ria sebari mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Dania.

"Aku selalu bermimpi, bahwa suatu saat aku akan mendapatkan hidup yang damai" ucap Dania masih dengan kelopak matanya yang tertutup.

Ria tidak berbicara sepatah kata pun. Ia membiarkan Dania menceritakan apa yang ia ingin ceritakan.

"Ramalanku berkata, bahwa aku akan bertemu dengan seorang pahlawan" ucap Dania yang sekarang sudah membuka matanya.

"Ia akan mengubah kota ini, ia juga akan merubah hidupku" ucap Dania. Matanya sudah berkaca- kaca.

"Hei, kau kenapa? Apa ada yang membuatmu bersedih?" tanya Ria lembut.

Tiba-tiba cairan bening turun dari mata Dania. Cairan itu turun sampai pipi Dania.

"Ayahku terbunuh saat perang" ucap Dania sebari mengusap kasar air matanya yang turun.

"Sudahlah, jangan menangis seperti itu" ucap Ria sebari mengusap punggung Dania.

Tapi nihil, tangis Dania semakin menjadi-jadi.

"Kau masih beruntung pernah merasakan kasih sayang ayah. Sedangkan aku? Pernah bertemu dengan ayahku saja belum pernah" ucap Ria sebari menahan tangis.

Dania memandangi Ria. Ia terus memperhatikannya. Dania pun berdiri.

"Kita sama-sama punya kehidupan yang pahit. Bagaimana kalau kita merubahnya? Kita buat kehidupan kita menjadi berwarna, bagaimana?" tanya Dania sebari memegang pundak Ria.

Ria pun memandang Dania dengan serius. Ria pun berdiri.

"Tentu saja" ucap Ria sebari tersenyum. Tiba-tiba air matanya turun. "Air mata bodoh, kenapa kau turun!".

"Jangan memarahi air matamu seperti itu! Nanti dia menangis" ucap Dania sebari tersenyum.

Mereka berdua tertawa oleh ucapan Dania yang tidak lucu itu.

"Ngomong-ngomong, kau bisa meramal?" tanya Ria mencoba merubah topik pembicaraan.

Dania pun berhenti tertawa. Dania terlihat seperti memikirkan sesuatu.

"Tidak terlalu bisa. Kadang-kadang beda dengan kenyataan" ucap Dania.

Mendengar ucapan Dania, Ria langsung semangat. "Ramal aku!".

"Hah?"

"Ramal masa depanku" ucap Ria semangat.

Dania pun memperhatikan Ria dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Aku punya firasat buruk! Kemarikan tanganmu!" perintah Dania. Ria pun memberikan tangannya.

Dania memperhatikan telapak tangan Ria. Keringat dingin mengucur di dahinya.

"Ini gawat!" ucap Dania dengan ekspresi takut.

"Ada apa dengan masa depanku?" tanya Ria takut.

Dania menatap cemas Ria. "Aku tidak bisa meramalkan masa depanmu. Masa depanmu masih tertutup oleh sebuah kabut yang tebal. Supaya aku bisa melihat masa depanmu, kau harus membasmi kabut itu".

"Caranya?" tanya Ria.

"Aku melihat, bahwa akan ada masalah besar menimpamu" ucap Dania sebari menerawang. "Ah, bukan masalah tapi bencana!"

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Ria cemas.

"Kau harus membuat masalah atau bencana itu selesai!" ucap Dania. "Ah! Mungkin itu masa depanmu".

"Tapi, bukannya ramalanmu kadang meleset?" tanya Ria.

Dania kembali berpikir. "Iya, juga! Kalau begitu, kau tidak perlu pikirkan ucapanku tadi!".

"Tetap saja aku takut" ucap Ria sebari menunduk.

Dania memandang Ria cemas. Mau bagaimana pun juga, ramalannya terlihat jelas sekali.

"Sudahlah, jangan dipikirkan! Ramalanku pasti meleset. Tadi aku melihat sebuah keluarga yang harmonis, mungkin itu keluargamu dimasa depan" ucap Dania dengan senyumannya. "Ada seorang ayah, dengan ibu yang sedang menggendong bayi yang imut".

Ria hanya tersenyum malu, dengan rona merah dikedua pipinya.

Mungkin hanya ini satu-satunya cara yang bisa menenangkan Ria.

To be continued

Mulmed : air yang melambangkan air mata Dania dan Ria.

THE WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang