15 • ayah Rio.. jahat! •

2.5K 214 1
                                    

Ria

"Aku kurang enak badan. Lebih baik, aku diam di tenda saja", ucap Cecillia sembari berjalan menjauhi kami.

"Lebih baik, kita istirahat dahulu. Kita tidak mau terjadi kejadian seperti tadi, 'kan?",  tany Rio.

Sepertinya, Arcadia semakin merasa bersalah. Kalau aku menjadi dia, aku juga akan merasa bersalah.

"Maafkan aku ketua. Aku memang ceroboh", sesal Arcadia sembari menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya.

"Tidak apa-apa Arcadia. Aku juga tadi melakukan kesalahan", ucap Rio. Semuanya tersenyum pada Arcadia. Kecuali Giovanni, dia hanya memandang Rio tidak suka. Jadi, ada masalah apa di antara mereka? Kenapa Giovanni sangat membenci Rio?

"Cih, kau memang selalu membuat kesalahan", ucap Giovanni sembari berjalan meninggalkan kami.

"Jadi, memang tidak ada kerja sama team sama sekali" ucap Cedric sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku setuju padanya.

Walaupun baru beberapa jam bersama, aku sudah agak tahu sifat mereka. Di mulai dari Arcadia, ia itu terlalu semangat. Ia juga sering melakukan sesuatu tanpa pikir, sangat mirip denganku. Lalu Alex, dia ini sangat pendiam. Di terlalu sering tersenyum, dan karena inilah aku takut padanya. Lalu Cedric, dia itu bijak. Kata-katanya selalu benar, Dia sangat benci permusuhan, dia juga sering berdebat dengan Arcadia. Lalu Emlyn, dia itu penyabar. Aku tidak tahu harus menjelaskan apa tentangnya, intinya ia baik. Lalu, Cecillia. Dia tidak hanya membenciku, tapi semua anggota team 26. Lalu Giovanni. Ia angkuh.

"Ria, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat", ucap Rio. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Akhirnya, kami meninggalkan anggota team kami.

Agak canggung memang, kami hanya diam sedari tadi. Tadinya, aku ingin bertanya pada Rio, tetapi aku urungkan. Mungkin efek sariawan. Yah, tadi saat Rio mencairkan saljunya, refleks aku menggigit bibirku.

"Ng.. Ria", ucap Rio mencoba memecahkan keheningan. Sedangkan aku hanya mengisyaratkan kata apa? "Kenapa, kau bisa sampai dengan cepat?", tanya nya.

Sampai apa yang ia maksud? Aku hanya mengernyitkan dahiku. Sampai? Sampai apa, ya? Apa aku sebegitu pelupa nya?

"Sampai apa?", tanyaku pada Rio.

"Sampai disini", ucap Rio. Aarrrgghh! Aku masih terlalu bingung. "Dengan Giovanni", tambahnya.

Oh, yang itu! Ah, apa sebaiknya aku katakan? Tapi, bagaimana kalau Rio marah padaku. Yang Giovanni lakukan kan curang. Tapi, kalau aku tidak mengatakannya, Rio tidak akan menganggapku teman lagi.

"Dia memakai lingkaran yang seperti kau buat waktu itu", ucapku sembari menunduk. Aku takut Rio marah. "Maafkan aku Rio, aku tahu ini curang. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa", sambungku.

Rio menatapku sebentar. Lalau mengacak-ngacak rambutku. Lalu, dia berjalan lagi. Apa ini? Dia tidak marah padaku?

"Rio, kau tidak marah?" tanyaku.

"Tidak. Ini bukan salahmu, si bodoh Giovanni lah yang salah" ucap Rio.

Kenapa aku makin penasaran pada Giovanni. Sebenarnya, ada masalah apa diantara Giovanni dan Rio? Siapa saja, tolong beritahu aku. Sebaiknya, aku tanyakan saja pada Rio. Lebih baik bertanya, dari pada terus menerus penasaran.

"Ada masalah apa, antara kau dan Russel? -ehm Giovanni maksudku?", tanyaku. Masih agak aneh kalau menyebut nama Giovanni di depan Rio.

Rio hanya menatapku sebentar, lalu kembali berjalan. Apa ini!? Pertanyaanku tidak didengar. Sungguh, Rio sangat menyebalkan saat ini.

"Kau tidak perlu tahu, Ria", akhirnya, ia menjawab juga. Tapi, tidak memuaskan. Lebih baik, nanti kutanya Giovanni. Kalau berani.

Kami terus berjalan, sampai Rio menghentikan langkahnya di depan sebuah gua. Gua yang sangat besar, dan menakutkan. Rio mulai melangkahkan kakinya.

Saat kami memasuki gua, aku dibuat tercengang. Diluar memang terlihat menakutkan. Tapi, didalamnya seperti di kamar asrama wizard school. Ada kursi, lemari, dan perabotan lainnya. Dan ada pria paruh baya sedang tertidur di ranjangnya.

"Ayah, aku datang", ucap Rio. Oh, ayah Rio. Eh, apa!? Dia ayah Rio? Aku pasti terlihat menjijikan dengan wajah bingungku ini.

Pria paruh baya itu, terbangun dari tidurnya. Dia tersenyum padaku dan Rio. Dia melambai-lambaikan tangannya, mengisyaratkan agar kami mendekat.

"Ini Ria yang sering kau ceritakan, Rio?" tanya ayahnya sembari tersenyum. Aku pun membalas senyumannya. Rio hanya menganggukkan kepalanya.

"Kau cantik", puji ayah Rio yang membuatku malu. Rio sepertinya menahan tawanya, melihatku tersipu.

"Terima kasih", ucapku. Ah, aku sangat malu. Selama ini, tidak pernah ada yang mengatakan kalau aku cantik.

"Kau punya elemen air?", tanya nya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. "Mendekatlah padaku", ucapnya.

"Ada apa ehm.. Tuan?" tanyaku. Aku bingung harus memanggilnya apa.

"Ayah. Panggil aku ayah", ucapnya. "Ria kau yang bisa mengendalikan Rio. Elemen api sangat menakutkan, lebih kuat dari elemen apa pun. Tetapi, semua sihir pasti ada kelemahannya. Kelemahan api adalah air. Kelemahan Rio adalah Ria", ucapnya panjang lebar.

Aku dan Rio saling bertukar pandang. Jadi, kelemahan api adalah air. Yang bisa mengendalikan elemen api adalah elemen air. Jadi, kalau Rio mengamuk hanya aku yang bisa memadamkan apinya. Jadi, intinya aku adalah kelemahan Rio.

"Kelemahan aku, apa?" tanyaku. Kan aneh, aku tahu kelemahan elemen Rio. Tapi, aku tidak tahu kelemahan elemen diriku sendiri.

"Kelemahan elemen air adalah elemen es. Tapi, kalau pengguna elemen air dan elemen es adalah manusia yang sama, ada satu kelemahannya lagi. Yaitu, angin dan kristal", ucap ayah. Ia menerangkannya dengan cara yang mudah. Ini membuatku mengerti dengan mudah.

"Sepertinya, kita harus mencari pengguna kedua elemen itu", ucap Rio. Aku menganggukkan kepalaku, menandakan persetujuan padanya.

"Kemarilah Ria", ucap ayah. Ia memegang keningku. Lalu semuanya hitam.

To be continued

THE WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang