1 •awal dari segalanya•

612 49 1
                                    

Pagi yang cerah, pagi yang indah. Sekarang, aku sedang melihat pantulan diriku di cermin.

"Aku tambah cantik, ya!" ucapku sambil memuji-muji pantulan diriku yang sedang memakai seragam sekolahku.

"Bagus juga seragammu," ucap kakakku sambil memperhatikanku. Aku sekarang memakai kemeja berwarna putih, dengan rok kotak-kotak berwarna merah-hitam, dan kemejaku ditutupi oleh jubah berwarna merah.

"Pasti, lah! Eh, kakak.." ucapku memanggil kakakku.

"Apa?" tanya kakakku.

"Itu.. Kenapa kakak tidak mau sekolah? Bukankah ini kesempatan yang bagus? Kesempatan tidak datang dua kali, kak!" tanyaku dengan kata-kata yang (agak) bijak.

"Umurku 'kan sudah 18 tahun, dan batas umur untuk sekolah disana itu 13-15 tahun," ucap kakak menerangkan.

"Lagi pula, aku sudah cukup pintar," tambahnya sambil menyombongkan diri.

"Sombong!" ucapku pada kakakku.

"Ria cepat, jangan ngobrol terus! Rea bantu adikmu membawa tasnya," teriak bundaku dari luar.

"Baik," teriak kakakku. "Ayo!"

Kami pun keluar menghampiri bunda. Aku melihat cairan keluar dari mata bundaku. sungguh aku ingin menangis saat melihat bundaku menangis.

"Bunda.. Jangan menangis, ya! Kalau bunda menangis, aku 'kan jadi sedih," ucapku sambil mengusap air mata.

"Iya.. Bunda tidak akan menangis lagi," ucap bunda sambil memelukku. Aku pun menangis di pelukan bunda.

"Nona, apakah anda sudah siap?" ucap seseorang. Ternyata, itu orang yang kemarin.

Aku pun mengangguk.

"Kalau begitu, cepat naik," ucapnya, sebari mengeluarkan dua permadani (?).

"Baik," ucapku sambil menaikki permadani yang satunya lagi.

"Sudah siap?" tanyanya padaku.

"Itu.. Aku tidak bisa mengendalikan permadani ini," ucapku sambil menunduk.

"Mengendalikan permadani ini tidaklah susah, kau hanya bicara saja ingin kemana," ucapnya berhenti sebentar. "Tapi, karena permadani itu hanya menurut pada perakataanku saja. Jadi, kau tidak usah mengendalikan permadani itu,"

"Terus, aku harus bagaimana?" tanyaku padanya.

"Kau hanya harus duduk manis saja," ucapnya lalu menaiki permadaninya.

Aku pun menaiki permadaniku. Permadani itupun melesat dengan cepat.

Aku kira, naik permadani ini bisa melihat rumahku dari atas. Ternyata tidak! Permadani itu masuk kedalam sebuah lingkaran dan tiba di suatu yang sangat besar.

"Kita sudah sampai," ucapnya santai.

"Apa?!" aku terkejut dengan apa yang dia sampaikan. Sampai? Hanya dalam hitunfan detik langsung sampai.

"K-ken-"

"Lingkaran itu menyambukan ketempat yang kita inginkan," ucapnya menjelaskan.

"Oh," aku hanya meng'oh'riakan perkataannya.

"Kau punya elemen apa?" tanyanya tiba-tiba.

"Elemen? Maksudmu apa?" tanyaku bingung.

"Aku baru ingat, kalau kau tidak punya elemen," ucapnya dingin.

"Memangnya harus?" tanyaku padanya.

"Tidak juga," jawabnya.

"Anu.. Itu.. Kau tahu namaku, tapi aku tidak tahu namamu," ucapku gugup.

"Memangnya harus?" tanyanya dingin.

"Harus, supaya kita lebih akrab" ucapku dengan senyuman tiga jariku.

"Namaku Rio," ucapnya.

"Itu nama depanmu, 'kan? Nama belakangmu?" tanyaku.

"Aku tidak punya nama belakang," ucapnya dengan wajah datar, sedatar triplek.

"Benarkah? Aku juga tidak punya nama belakang. Bahkan aku tidak tahu ayahku siapa" ucapku riang.

"Bukankah nama belakangmu Luffita?" tanyanya.

"Itu bukan nama belakangku. Aku punya sih nama belakang, tapi ibu tidak memberitahukannya padaku" ucapku sambi tersenyum lebar.

"Oh" ia hanya meng'oh'riakan perkataanku.

"Hei! Wajahmu kelihatanmasih muda, tapi tinggi badanmu dan perilakumu seperti orang dewasa" ucapku sok akrab.

"Umurku masih 13. Tentang tinggi badan, itu karna kau terlalu pendek" ucapnya. Hei! Itu terdengar seperti ejekan.

"Iya, benar juga" ucapku dengan senyum terpaksa. Cih! Dia mengejekku, dasar BOSA!

"Sepertinya kita harus cepat-cepat keruang kepala sekolah" ucapnya. Aku hanya mengangguk.

Cih! Aku tidak mau bertanya padanya lagi, sudah terlalu sebal.

Kami pun pergi ke ruang kepala sekolah. Lalu, kami mencari kamarku di asrama. Kamarku bernomor 167.

Setelah itu, Rio mengajakku berkeliling asrama dan sekolah. Sebenarnya bukan Rio yang mengajakku berkeliling. Tapi kepala sekolah yang memerintah Rio untuk mengajakku berkeliling.

Setelah puas melihat seluruh ruangan yang ada di wizard school , aku pun pergi ke kamarku. Tapi, saata dilorong kamar anak perempuan, aku bertemu dengan gadis yang menyebalkan.

"Kau murid baru, ya?" tanya gadis itu padaku.

"I-iya" ucapku sambil menunduk.

"Perkenalkan, namaku Ariana cleirina. Murid tercantik dan terpintar di sekolah sihir ini" ucapnya menyombongkan dirinya.

"Benarkah? Kau sungguh mengagumkan" ucapku berbohong. Sombong sekali gadis ini.

"Jadi, kau jangan berani-berani mencari masalah denganku, oke?" tanyanya sambil mendorongku sehingga aku terjatuh.

"B-baik" ucapku sambil menunduk. Aku pun memunguti tasku lalu pergi kekamarku.

Setelah sampai di kamarku, akupun langsung kagum pada kamarku. Ini lebih besar dari gubuk keluargaku. Aku pun merebahkan diriku di kasur.

"Sungguh hari yang melelahkan. Awas kau gadis 160, akan kubalas nanti" ucapku.

"Tapi.. Sepertinya itu tidak mungkin"

Tbc

Read my another story

• Story of my life

• little secret

• terbongkarnya misteri sekolah angker

Mungkin gak ngerti :

- BOSA : bocah dewasa

- gadis 160 : Ariana cleirina. Karena, kamarnya bernomor 160

Kalau tidak ada yang dimengerti, tanyakan saja

THE WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang