25 ¤Terlalu banyak masalah¤

73 5 0
                                    

"Gio!"

Lelaki berambut merah itu menolehkan kepalanya. Ia menatap seseorang di hadapannya dengan datar.

"Hari ini kau berlatih sendiri, ya! Aku sibuk," ucap seseorang di hadapannya.

"Sibuk merencanakan sesuatu yang menggemparkan dunia?" Tanya Gio sembari tersenyum miring.

"Ya begitulah," ucap sabrina tersenyum remeh.

Sabrina pun mulai membuat lingkaran. Tetapi Gio mencegahnya. Dia menahan tangan kembarannya itu.

"Lepaskan aku!" Titah kembarannya itu.

"Berhentilah membuat onar sabrina!"

"Berhenti? Untuk apa aku berhenti?" Tanya Sabrina.

"Jauhi Arianna, dia berbahaya. Jadilah orang yang baik!"

"Untuk apa aku menjadi orang baik? Toh tidak ada gunanya," ucap Sabrina sembari menatap tajam Gio.

"Lalu apa gunanya menjadi orang jahat?" Gio kembali bertanya.

"Guna menjadi orang jahat? Aku tidak hanya menjadi pendamping, aku tidak perang di belakang seseorang! Aku berperang di barisan paling depan! Itulah mimpiku. Kau tidak bisa menghancurkannya begitu saja," ucap Sabrina dengan sengit.

Gio menatap kembarannya itu. Ia tidak mengerti dengan pikirannya kembarannya itu. Kenapa ia sangat berambisi untuk berperang di barisan paling depan.

"Itu saja yang kau inginkan? Untuk apa kau menjadi pengendali petir terhebat kalau kau gunakan untuk berbuat jahat?"

"Untuk apa? Untuk membuat aku diakui oleh semua penyihir! Aku senang dipuji! Aku tidak suka diabaikan! Dan aku juga tidak suka diperlakukan tidak adil!" Teriak Sabrina.

Gio menatap kembarannya dengan tajam. Ia tidak mengerti bagaimana kembarannya mempunyai pemikiran seperti itu. Siapa kah yang membuatnya seperti itu?

"Kenapa kau diam? Yang kukatakan benar kan?" Tanya sabrina sembari tersenyum miring.

"Semua yang kau pikirkan itu salah."

"Apa maksudmu?"

"Semuanya adil dan kau tidak pernah diabaikan," Ucap Gio tanpa ekspresi.

Sabrina menatap Gio tak percaya. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu kepada orang yang tidak pernah diberi keadilan.

"Adil? Semua perempuan harus jadi pendamping Wizard dan perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Itu adil? KATAKAN PADAKU! APAKAH ITU ADIL?!"

Sabrina tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia mengeluarkan semuanya di depan kembarannya. Sedangkan Gio masih menatapnya seperti tadi. Tanpa ekspresi.

"Ya, itu adil untukmu. Karena kau juga melakukan hal yang sama padaku," Ucap Gio.

Kembarannya itu menatapnya bingung. Ia meminta penjelasan yang lebih rinci.

"Kau tidak pernah menganggapku kembaranmu lagi setelah kau tau kekuatanmu lebih besar dariku. Kau juga hanya memanfaatkanku untuk membantumu mengendalikan kekuatanmu itu."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti arah pembicaraanmu."

Gio diam. Sabrina menunggu dirinya kembali berbicara. Tetapi kembarannya itu malah pergi dan tidak menghiraukan kembarannya yang terus memanggilnya.

***

"I-ibu?"

"Iya."

Rio tidak mempercayai apa yang ia lihat. Wanita yang ia cari sedari dulu ada di hadapannya. Matanya mulai berkaca-kaca tetapi ia menahannya. Mana mungkin anak lelaki menangis seperti itu.

"Kemana saja kau selama ini?" Tanya Rio.

"Aku bepergian ke banyak tempat. Dan Aku juga menyamar di dunia orang normal," Ucap Ibunya.

"Orang normal?"

"Iya! Manusia tanpa sihir! Nanti ibu ajak kamu ke sana ya! Asik loh!" Ucap ibunya Rio dengan semangat.

Rio bingung. Kata-kata yang ibunya katakan adalah hal baru baginya. Asik? Apa itu? Semacam buah? Atau pakaian? Atau sihir teleportasi terbaru? Banyak sekali yang Dirinya pikirkan saat ini.

"Eh aduh! Ibu lupa kamu pasti tidak mengerti!" Ucap ibunya sembari tertawa.

Rio merasa aneh pada ibunya. Ia tidak pernah menemuinya selama ini. Dan saat bertemu ia bertindak konyol di depan anaknya. Apa semua ibu seperti itu? Atau hanya ibunya? Ia sangat pusing dengan keadaan ini.

"Sebentar lagi ibu akan tinggal di dunia sihir lagi, Rio."

Rio menatap ibunya penuh arti. Ini yang ia mau. Hidup bahagia bersama kedua orang tuanya.

"Tapi jika dunia sihir sudah aman."

"Akan aku pastikan dunia sihir aman secepatnya," Ucap Rio sambil tersenyum.

"Dan kita semua akan bersatu kembali menjadi keluarga yang utuh dan bahagia."

***

Arcadia, Emlyn, dan Cecillia duduk dengan lesu di ruang 'perenungan'. Mereka bertiga sekarang dihukum karena sebagian anggota menghilang dan terpaksa team ini harus didiskualifikasi.

"Seharusnya mereka juga dihukum bersama kita," Ucap Cecillia.

"Mereka juga akan dihukum setelah kembali," Ucap Emlyn dengan senyum hangat di wajahnya.

Arcadia yang biasanya selalu berisik mendadak membisu di ruangan ini. Bahkan kedua temannya itu pun merasa heran dengan perilakunya.

"Aku dengar Giovanni langsung ke kediamannya ya," Ucap Cecillia tiba-tiba.

"Dia kan salah satu murid istimewa di sekolah ini. Wajar saja jika tidak ikut dihukum," Jawab Emlyn.

Emlyn melirik ke arah Arcadia. Ternyata dia masih terdiam saja. Tatapannya seperti menyembunyikan sesuatu.

"Arca? Ada masalah apa?"

"Tidak ada masalah apa-apa, aku hanya sedang merenung saja," Ucap Arcadia dengan senyum yang agak dipaksakan.

Cecillia mengernyitkan dahinya. Tidak biasanya temannya itu merenung. Padahal dia itu tipe yang langsung melakukan sesuatu hal dengan spontan.

"Kenapa kau merenung?" Tanya Emlyn khawatir.

"Di sini kan memang tempat untuk merenung, Lyn."

Emlyn tersenyum kikuk mendengar ucapan temannya itu. Memang tidak salah, tapi terdengar salag jika Arcadia yang mengucapkannya.

"Aku harap kau tidak menyembunyikan apa-apa dariku, Arca."

Bersambung

Minggu, 2 Februari 2020

THE WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang