Ria
Semua kejadian tadi, berubah menjadi hitam. Aku berdiri di sini sendirian. Air mataku masih mengalir turun dari pelupuk mataku. Betapa pedihnya kehidupan ibuku dahulu.
Pikiranku tentang betapa bahagianya jika memiliki seorang ayah, kini sudah hilang. Aku tidak ingin mempunyai seorang. Jika ibuku mematuhi perkataan ayahaku, aku tidak mungkin berada disini. Aku tidak mungkin bisa merasakan, betapa enaknya masakkan buatan bunda. Betapa bahagianya ketika kakakku pulang dari berburu. Betapa bahagianya makan bersama kak Rea dan bunda. Betapa bahagianya bisa bertemu Rio, Dania, bibi Jenita, Nita, Arcadia, Emlyn, Cedric, Alex, Cecillia dan Giovanni. Mungkin, jika hal itu terjadi aku dan ibuku sudah musnah.
Tempat ini begitu gelap dan kosong. Tidak ada pintu dan tidak ada jendela. Aku hanya bisa mematung. Aku bingung harus melakukan apa. Saat ini, aku butuh pelukan hangat dari ibuku.
"Bunda, aku merindukanmu..", ucapku lirih Sembari terisak.
Tempat ini berubah menjadi putih. Ada 5 meja kecil di hadapanku. Aku melihat meja itu satu persatu. Di setiap meja itu, ada berbagai lambang. Di mulai dari angin, es, api, tanah, dan petir. Aku bingung, meja ini untuk apa.
Lalu ada bayangan seorang gadis. Berambut merah, mata yang gelap dan tajam, dan senyuman yang manis. Maksud dari bayangan ini, apa?
"Selamatkan gadis ini",
Aku mendengar seseorang berbicara. Suaranya sangat kecil. Tapi disini hanya ada aku, jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Siapa yang berbicara?", tanyaku. Aku berharap ada yang menjawabnya.
Tapi, kenyataannya tidak ada suara sedikitpun. Aku menajamkan pendengaranku. Aku melirik ke arah kanan dan kiri. Aku tidak menemukan siapa-siapa disini.
"Aku Rina. Ku mohon, selamatkan dia",
Akhirnya ada suara yang menyahut. Tapi, tetap saja aku tidak menemukan siapa-siapa disini.
"Sebenarnya, kau ini apa? Kenapa aku tidak menemukanmu?", tanyaku. Lalu, ada suara kekehan. Orang yang berbicara denganku ini, gila atau apa.
"Aku bukan manusia, aku ini peri. Kau tidak bisa menemukanku, karena aku bisa berbicara tanpa tatap muka", ucapnya. Tanpa tatap muka? Mungkin, Semacam telepati.
Tidak ada suara lagi. Percakapannya sampai disini? Aku bingung dengannya, datang tak di undang pergi tak di antar.
"Ehm.. Apa kau tahu tentang meja-meja ini?", tanyaku. Aku mencoba berbicara dengannya. Dan aku tidak tahu, dia akan menjawabnya atau tidak. Tidak ada salahnya mencoba, 'kan?
"Aku tidak tahu tentang itu. Oh ya, kau bisa meminta bantuan pada gadis berambut pirang", ucapnya. Meminta bantuan untuk apa? Gadis pirang yang mana? Apa yang dia maksud adalah Arcadia? Lalu, kenapa aku harus meminta bantuannya?
"Karena, kau akan menyelamatkan temanku. Ya, kau benar. Gadis itu bernama Arcadia. Aku baru ingat tadi, nama gadis itu", ucapnya sembari tertawa renyah. Apa-apaan ini? Kenapa dia seenaknya membaca pikiranku? Dan, apa untungnya dia membaca pikiranku?
"Kau terlalu banyak berpikir, seperti punya otak saja. Aku malas menunggumu bertanya. Waktu mengobrolnya sudah habis. Sampai jumpa!", ucapnya dengan nada riang. Sial, dia berkata seolah-olah aku tidak punya otak. Sudahlah, lupakan dia.
Aku menatapi meja-meja yang berderet di depanku. Aku melangkahkan kakiku. Beberapa meter lagi aku sampai. Aku menutup mataku, lalu kembali berjalan. Aku menabrak salah satu meja. Aku meraba-raba meja itu.
Tik
Sepertinya aku menekan sesuatu. Dan wush! Seperti ada badai yang menghantam diriku. Ini begitu dingin, seperti ada di tengah-tengah badai angin atau salju. Aku membuka mataku, dan langsung ada Rio di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE WIZARD
FantasíaRia adalah gadis yang tinggal dihutan bersama ibu dan kakaknya. ia tidak diperbolehkan keluar dari hutan. tiba-tiba, ada yang menawarinya sekolah di sekolah sihir terkenal yang sangat jauh dari hutan tempat ia tinggal. lalu, apakah impiannya...