20 •pergi ke rumah ria?•

2.5K 196 17
                                    

Rio

Selalu saja seperti ini. Selalu saja Ria yang celaka. Aku harus tahu penyebabnya apa. Aku harus membuat Ria keluar dari penderitaannya. Ia harus mendapatkan kehidupan yang bahagia. Kehidupan yang sudah menjadi haknya.

"Bunda.." tiba-tiba Ria mengigau. Wajahnya ketakutan. Keringatnya mengalir di pelipisnya.

"Ria kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan khawatir. Aku harus melakukan apa? Sedari tadi, Ria terus menyebut ibunya. Apakah dia rindu pada ibunya? Apa aku harus mengantarnya bertemu ibunya?

"Pangeran Nico, kau sungguh tampan. Sayangnya, kau adalah saudara kandungku," Ria mengigau lagi. Pangeran Nico? Siapa dia? Aku baru mengenal namanya. Dan dia saudara kandung Ria? Tapi, bukannya pria yang disebut Ria adalah pangeran? Jadi, kenapa dia bisa bersaudara dengan seorang pangeran. Jangan-jangan..

"Rio.." aku langsung menolehkan kepalaku. Ria sudah sadar.

"Hn?"

"Antar aku pulang," ucapnya tiba-tiba. Sepertinya dia benar-benar ingin bertemu ibunya. Tapi, keluar dari kawasan wizard school itu dilarang.

"Ria, keluar dari kawasan sekolah ini dilarang," ucapku. Ria turun dari ranjang ruang kesehatan. Ia pergi meninggalkanku. "Ria, kau masih sakit".

"Peduli apa kau padaku?" ucapnya dengan nada sinis. Sepertinya Ria dipengaruhi oleh sihir jahat. Aku harus mengeluarkan sihir jahat itu dari tubuh Ria. Ria tidak akan marah walaupun aku memarahinya. Tapi, sekarang?

"Siapa kau?! Apa yang kau mau? Pergi dari tubuh Ria!" ucapku sembari mengguncang-guncang tubuh Ria. Ria menatapku tajam. Astaga! Dia benar-benar di pengaruhi sihir jahat.

"Kau ingin aku keluar dari tubuh Ria? Antar aku pulang, aku akan keluar dari tubuh Ria," ucapnya dengan tatapan penuh harap.  Sepertinya dia menipuku.

"Aku tahu kau menipuku," ucapku dingin. Ria hanya mendelikkan matanya. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Ria

Tiba-tiba ia duduk di lantai. Lalu, ia menangis dengan keras. Aku heran kepadanya, perilakunya besa tipis dengan anak kecil. Kalau sudah seperti ini, aku juga yang susah.

"Baiklah, aku akan mengantarmu ke rumahmu," ucapku sembari berlutut di hadapannya. Tanganku terulur kepalanya, aku mengacak-ngacak rambutnya.

"Rio jelek! Rambutku yang indah ini jadi kusut," teriaknya. Lihat, dia semakin seperti anak kecil.

Aku berdiri, lalu pergi meninggalkannya sendirian. Sebentar lagi ia pasti akan menyusulku.

Tep

Benarkan yang aku bicarakan. Aku menatapnya yang sedang menatapku dengan senyuman tiga jarinya. Tangannya menggoyang-goyangkan tanganku.

"Kita pergi sekarang, 'kan? Dan kita tidak akan pergi menggunakan portal, 'kan?" tanya Ria dengan penuh harap.

"Kalau pergi tanpa portal, tidak bisa pergi sekarang," ucapku. Senyumannya langsung menghilang.

"Eh? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Ria dengan ekspresi penuh kekecewaan. Tangannya yang tadinya memegang tanganku, langsung melepaskannya.

"Kita tidak bisa meminta permadaninya sekarang," ucapku singkat.

Setiap ada acara untuk angkatan baru wizard school, semua staff akan ikut andil dalam acara itu. Bahkan, bibi Jenita pun ikut andil dalam acara ini. Dan permadani hanya di pegang oleh miss. Nurama. jika tidak ada miss. Nurama, kita tidak bisa meminta permadaninya. Lalu, permadaniku juga tertinggal di tendaku.

"Kita tidak perlu permadani, Rio! Kita hanya perlu..." ucapnya dengan semangat.

"Perlu apa?" tanyaku.

"Sihir!" ucapnya dengan riang.

Apa harus terus mengulangi perkataanku? Ria itu kekanak-kanakkan. Dia ingin menggunakan sihir dengan salah.

"Sihir bukan untuk main-main," ucapku memperingatkannya.

Ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Ia mengedip-ngedipkan matanya seperti kucing yang ingin diberi makan. Ia berusaha membuat wajahnya se-menyedihkan mungkin. Tapi, wajahnya tidak seperti sedang memelas. Melainkan seperti- sepertinya aku tidak pantas menyebutkannya.

"Kita bisa menaiki elemen kita. Aku jamin, Air-ku tidak akan berubah menjadi es. Kumohon!" pintanya. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan wajahnya.

Aku hanya menganggukkan kepalaku--tanda aku membolehkan. Tidak ada gunanya melarangnya. Semakin aku melarangnya, semakin dia memaksaku. Ingat! Ria itu keras kepala.

"Rio, kau baik sekali! Kau adalah sahabat yang selalu mengerti perasaan sahabatnya," ucapnya riang sembari memelukku. Aku agak kaget karena tiba-tiba di peluk seperti ini. Lagi pula, aku belum pernah dipeluk oleh perempuan.

"Sebaiknya kau lepaskan pelukanmu Ria, tidak enak kalau ada yang melihat," ucapku.

Entah kenapa pipiku jadi memanas. Aku yang jenius ini, pasti akan terlihat bodoh sekarang. Ria melepaskan pelukannya sembari tertawa.

"Tenang saja Rio, aku hanya menyalurkan rasa bahagiaku kepadamu. Tidak ada yang salah, 'kan? Pipimu sampai memerah seperti itu, aku jadi tidak bisa berhenti tertawa," ucap Ria sembari tertawa kecil. Semakin lama, tawanya semakin keras.

Ini sungguh menjengkelkan, aku ditertawakan seperti ini. Tadi dia berkata apa? Pipiku memerah? Apa aku terlihat sangat konyol? Ugh, ini sangat memalukan. Orang jenius terlihat konyol didepan sahabatnya? Apa hanya aku saja yang terlihat seperti itu?

"Lagi pula, disini tidak ada siapa-siapa," ucap Ria dengan tawanya yang semakin keras saja.

"Kalau kau tidak menghentikan tawamu, aku tidak akan mengantarkanmu ke rumahmu," ancamku. Ria langsung membekap mulutnya sendiri.

Aku langsung membentuk api menjadi permadani. Ria menatapku dengan mata berbinar-binar. Dasar, dia yang ingin cepat-cepat pergi ke rumahnya, tapi dia yang diam saja dari tadi.

"Ria, cepat bentuk airmu!"

Ria cepat-cepat membentuk airnya. Aku segera menaiki apiku. Ria pun menaiki airnya. Kami tidak akan terbakar atau basah kuyup. Itu terjadi karena pengendali elemen tidak akan terpengaruh oleh elemennya sendiri.

Kami berdua menggerakkan tangan. Api dan air itu menuruti apa yang tangan kami perintah. Air, api, angin, petir dan elemen lainnya hanya akan menuruti tangan si pengendali. Elemen tidak akan menuruti perkataan si pengendali.

"Rio, pemandangannya indah sekali!" ucap Ria dengan senang. Warna bola matanya berubah menjadi biru. Apa dia bisa fokus dengan rasa senang seperti itu? Tunggu, apakah warna bola mataku juga berubah?

"Ria, itu rumahmu, 'kan?" tanyaku. Ria hanya menganggukkan kepalanya. Kami berdua menggerakkan tangan kami agar api dan airnya menghilang.

'Tap' 'bruk'

Ini cukup lucu. Aku mendarat dengan kakiku yang mendarat di tanah. Dan Ria malah jatuh dengan gaya yang aneh. Penyihir macam apa itu?

"Aduh Rio bokongku sakit," ucap Ria.

"Itu salahmu sendiri. Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menggunakkan sihir! Kau kan masih lemah," ucapku. Sepertinya Ria tidak suka disebut lemah. Lihat saja sekarang dia memicingkan matanya kepadaku.

"Ria?"

Kami menolehkan kepala kami ke arah suara itu. Ria sangat senang melihat orang itu. Oh, aku tahu siapa dia. Dia adalah-

"Kak Rea!"

Kakaknya Ria yang menolak sekolah di wizard school.

Bersambung..

Maafkan author yang selalu php ini. Author janji mau next tanggal 25 author malah publish tanggal 27. Maafin author ya.

27 mei 2016

THE WIZARDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang