Aku melangkahkan kakiku menuju kelas dengan santai. Koridor masih sepi, orang-orang yang berlalu lalang pun masih bisa dihitung jari. Kepagian sepertinya. Aku membuka pintu kelas dengan perlahan. Kerutan di dahiku terlihat ketika aku menyadari kelas masih kosong, tidak ada satupun temanku yang sudah datang. Padahal biasanya jam segini sudah ada 1-2 orang duduk manis di bangkunya.
Aku duduk di bangkuku dan segera mengambil headset untuk membunuh bosan. Aku benci sepi jika di dalam ruangan. Lagu Kiss You-nya 1D, berhasil membuatku seperti orang gila karena senyum-senyum sendiri. Ingatanku tentang waktu yang seharian kuhabiskan bersama Jason kemarin, kembali terulang. Aku memegang pipiku dan tertawa kecil. God, ulang yang kemaren dong. Aku masih mau lagi, pintaku dalam hati dengan gemas.
"Seneng ya kemaren ditemenin seharian sama TUNANGAN gue?"
Moodku hancur seketika. Tiba-tiba suara Jason terngiang di kepalaku, "Bantu gue jauh dari Rini. Bisa kan?"
Aku tersenyum mengejek. "Iya seneng. Banget malah, Rin. Makasih ya buat kebaikan hati lo yang udah nyuruh Jason ke rumah gue."
"Ga waras ya lo? Gue ga akan mungkin nyuruh tunangan gue ke rumah lo. Ga sudi gue ngebiarin tunangan gue deket-deket sama cewek menjijikkan kayak lo," ucap Rini marah.
Nyess! "Kalo gue menjijikkan, lo apa? Baru calon aja udah songong. Orang tua lo selama ini ngapain aja sampe anaknya jadi memalukan begini?"
Rini menggeram marah dan maju menghampiriku, kemudian menarik lenganku untuk berdiri. "Lo kira lo siapa berani ngomong begitu ke gue, hah? Inget ya, gue selalu bisa ngelakuin apapun yang gue mau."
Aku tertawa sinis. "Ternyata lo bener-bener sodaraan ya sama Riko. Omongan aja bisa sama gitu. Jangan-jangan lu sama brengseknya kayak dia."
Plak! Pipi kiriku terasa sangat panas, bahkan telingaku sampai berdengung. Aku yakin bekas tangan Rini yang menamparku meninggalkan jejak disana.
Dia maju dan mencengkeram lenganku erat. "Denger ya, cewek jalang. Gue ga akan ngebiarin lo deket sama Arsen. Gimanapun itu caranya," desisnya tepat di depan wajahku dan menghempaskan tanganku dengan kasar, kemudian berjalan cepat keluar kelas.
Aku mengepalkan tanganku. Jika saja aku tidak menahan diri, bisa dipastikan dia sudah masuk rumah sakit sekarang. Aku pernah belajar taekwondo dari Tera. Dia dengan suka rela mengajariku setelah mendengar curhatanku tentang masa lalu dan dia selalu berpesan untuk menggunakan kekuatanku pada orang yang tepat, bukan orang yang lemah.
Aku melihat sekeliling. Aku tidak sadar jika kelas sudah mulai ramai. Teman-teman melihatku dengan tatapan kasihan dan aku membalasnya dengan muka datar. Pandanganku terpaku pada Natha dan Jason yang berdiri mematung di depan pintu kelas. Mata mereka bersinar tidak percaya padaku. Aku tersenyum kecil pada mereka, seolah mengatakan aku baik-baik saja.
Seolah mereka tersadar dari lamunan, mereka langsung berlari. Natha menghampiriku, sedangkan Jason mencari Rini. Aku melengos melihatnya. Aku sudah berusaha menjauhkannya dari Rini, tapi dia malah mencoba mencari Rini. Sia-sia gue bantuin dia hari ini, sesalku.
Aku mengaduh keras ketika Natha tiba-tiba memegang pipiku. "Ya ampun, Ka. Ini parah lho. Bakalan memar ini kalo ga diobatin," ujarnya heboh.
Akibat omongannya itu, orang-orang langsung mengerumuniku. Aku melihat satu-satu wajah mereka dan tersenyum kecil. "Gue gapapa. Ga usah pada khawatir gitu," ucapku pada mereka.
"Kompres aja, Ka. Lumayan buat ngedinginin. Pasti panas banget tuh kalo sesuai dari pengalaman gue mah," celetuk seseorang. Semua orang memandanginya dengan pandangan curhatnya-nanti-aja-keles.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum yang Menghilang
RomanceAku takut. Aku sakit. Aku benci dia. Aku benci diriku sendiri. Berat rasanya memikul peran protagonis yang dibalut dengan antagonis didalamnya, memakai topeng bidadari yang dibaliknya terdapat wajah iblis, menjadi pribadi yang bahkan aku sendiri tid...