Aku terbangun karena kepalaku terbentur sesuatu. Aku membuka mata dengan perlahan. Tangan dan kakiku diikat, mulutku juga dilakban. Tubuhku meringkuk di bagasi belakang sebuah mobil jeep mewah. Cukup lega, tapi tetap saja tubuhku terasa sakit jika mobil sedang melewati jalan rusak. Belum lagi kepalaku masih sangat pusing akibat obat bius tadi.
Tak berapa lama mobil berhenti dan setiap pintunya terbuka secara bersamaan, yang terakhir adalah pintu paling belakang. Tubuhku diseret keluar. Kakiku dilepas ikatannya dan lakban yang ada di mulutku dibuka secara kasar. Aku berteriak kesakitan dan menatap Rini marah.
"Apa?" tanyanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku mendengus dan membuang wajahku. Aku memandang sekeliling. Sebuah perumahan elit, tapi yang membuatku panik adalah udaranya. Udaranya terasa dingin, pasti jauh dari keramaian.
"Ga usah mikir buat kabur. Ga akan bisa," cemooh Rini. Aku hanya pura-pura tidak mendengar dan tetap diam.
Aku diseret masuk ke rumah itu. Aku melirik keadaan di sekitar rumah itu dan tidak sengaja melihat kamar mandi. Aku mencoba memutar otak. Sial! Gua lagi ga bisa mikir. Tenang, Ka, tenang. Pikir sesuatu, batinku. Sebuah ide melintas di benakku.
Aku memantapkan niatku dan membalikkan badan secara tiba-tiba. "Gue mau pipis Rin," pintaku memelas.
"Ga usah boong deh," ujar Rini malas.
"Boong gimana sih? Masa iya gua pipis disini." Harus berhasil Ka, harus!
"Yaudah disitu aja."
"Lu ga jijik emang? Gua lagi dapet."
Dia menimbang-nimbang sejenak. "Yaudah sono. Jangan lama-lama."
"Bukain tangan gue dulu dong. Gua kan perlu ngebersihin juga," pintaku dengan wajah lebih memelas dari sebelumnya.
Rini berdecak sebelum akhirnya membuka ikatan di tanganku. "Kawal dia," perintah Rini ke salah satu pengawalnya. Aku tidak mencoba menolak agar tidak terlihat curiga.
Aku memasuki kamar mandi dan menyalakan keran. Berpikir keras apa yang harus aku lakukan. Aku mendongak ke atas. Shit! Gada jendela buat kabur. Satu-satunya jalan cuma nerobos. Sanggup ga ya? pikirku.
Semua rencanaku buyar ketika pintu kamar mandi diketuk.
"Cepetan. Kalo engga, saya dobrak," ucap si pengawal. Aku mematikan keran dan berjalan keluar dari kamar mandi.
Aku mengamati situasi dan kondisi di sekitarku dengan hati-hati. Aman. Aku segera berbalik dan menendang kaki si pengawal. Dia terjatuh karena terkejut dengan tindakanku. Aku memanfaatkan kekagetannya dan mulai memukul, meninju tubuh si pengawal dengan brutal.
Tiba-tiba, efek obat bius kembali terasa. Aku sedikit terhuyung ke belakang dan ditendang oleh seseorang dari arah samping. Aku terjatuh setelah membentur meja dan sofa yang berada disitu. Aku mencoba berdiri tapi tubuhku sudah dipukul dari berbagai arah olehnya. Aku jatuh terduduk dan terus melindungi diri dari beberapa serangan yang dilancarkan oleh orang itu. Orang itu menghabisiku tidak tanggung-tanggung.
Sakit. Cukup. Gua udah ga kuat, teriakku di dalam hati. Aku menahan tangis karena rasa nyeri yang amat sangat. Pukulannya mulai melemah. Aku gunakan kesempatan itu untuk menarik tangannya dan kemudian menendang tulang keringnya dengan keras. Dia mengaduh kesakitan. Aku meninju tulang pipinya dengan keras hingga ia terjatuh.
Nafasku terengah-engah. Sakit. Sangat lelah. Seluruh tubuhku terasa remuk setelah dipukul habis-habisan olehnya.
"Cukup," ujar seorang gadis dengan dingin.
Aku menatap ke asal suara dan seketika tubuhku membeku melihat seorang anak kecil di belakangnya.
"Revan! Kamu ngapain disini?!" teriakku panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum yang Menghilang
RomansaAku takut. Aku sakit. Aku benci dia. Aku benci diriku sendiri. Berat rasanya memikul peran protagonis yang dibalut dengan antagonis didalamnya, memakai topeng bidadari yang dibaliknya terdapat wajah iblis, menjadi pribadi yang bahkan aku sendiri tid...