Berhari-hari aku menghindari Jason, selama itu pula ia semakin mengejarku. Aku sebenarnya tidak tega melihatnya begitu, tapi ini semua demi keselamatan keluarga dan sahabatku. Aku selalu menahan diri untuk tidak menyapa balik atau menerima semua perbuatan baiknya. Tersiksa memang, tapi apalah daya. Aku takut Rini semakin melakukan hal keji terhadapku.
Apa aku terlalu egois? Apa aku terlalu memikirkan diriku sendiri? Apa aku tidak memikirkan perasaan orang lain terhadapku? Atau aku yang terlalu bodoh tidak melihat kepedulian orang yang mati-matian ingin membantuku?
Aku tidak peduli. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu.
****
"Ka, gua tinggal bentar ya. Ada perlu," ujar Natha terburu-buru.
Aku menahan lengannya. "Langsung pulang aja kalo emang penting. Ntar gua sama Tera," ucapku sambil tersenyum. Natha menatapku lama sebelum akhirnya ia mengangguk dan berlari kecil menuju mobilnya.
Aku menghela nafas panjang. Aku berbohong. Tera sedang pergi bersama keluarganya hingga ia harus izin tidak kuliah, dan kini aku benar-benar sendiri.
Aku menatap punggung Jason yang sedang membelakangiku. Aku rindu padanya. Entah harus berapa lama lagi aku harus menahan diri untuk selalu jauh dengannya. Aku rindu senyumnya, tawanya yang selalu membuatku ikut tertawa bersamanya, kekonyolannya, dan semua perkataan lembutnya.
Aku bahkan rindu dengan sentuhannya. Belaian lembut jemari tangannya di kepalaku, genggaman tangannya yang posesif di tanganku, serta rangkulan hangatnya di pundakku. Aku rindu semua waktu yang pernah kuhabiskan dengannya.
Tiba-tiba punggung itu berbalik dan terlihatlah senyuman manis yang selalu kurindukan itu. Aku menatapnya dengan perasaan yang berkecamuk. Ingin sekali berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat seolah dia adalah milikku.
Tak disangka, muncul seseorang dibalik punggung Jason. Mataku membulat besar dan saat itu juga aku memalingkan wajah. Aku berjalan melewati mereka, namun lenganku ditahan. Aku menatap tangan itu.
"Lepas," ucapku dingin.
"Mau sampe kapan lu ngindarin gue, Sof?" tanya Jason frustasi.
Aku melirik perempuan di sampingnya. Ia masih memandangku dengan senyuman liciknya. Tubuhku merinding.
Senyuman itu bukan senyuman licik yang biasa ia berikan padaku, tapi senyuman jahat yang telah merencanakan sesuatu yang kejam.
Aku segera menghempaskan tangan Jason dengan kasar dan berjalan cepat menuju halte. Aku menunggu bis dengan gusar. Perasaanku tidak enak. Aku punya firasat akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku mencoba menghapus semua pikiran-pikiran buruk yang melintas di kepalaku, tapi tidak berhasil. Justru membuat diriku semakin resah.
Bis yang kutunggu akhirnya tiba. Aku langsung menaikinya dan memilih bangku belakang yang dekat dengan jendela. Aku mengambil headset, kemudian menyetel lagu yang agak keras sambil menatap pemandangan di luar jendela. Aku memejamkan mata untuk sedikit menenangkan diri.
Semuanya bakalan baik-baik aja, jangan khawatir, ucapku terus menerus dalam hati.
Setelah 15 menit perjalanan dengan bis, aku harus melanjutkan berjalan kaki menuju rumah. Aku melihat sekeliling. "Sepi banget. Baru juga jam 2," gumamku bingung.
Aku menghentikan langkahku ketika aku merasakan ada seseorang yang mengikutiku dari belakang. Aku menengok ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa disana. Kosong. Aku kembali melanjutkan langkahku, namun aku kembali merasa ada seseorang yang mengikuti langkahku. Aku menengok ke belakang, tetap tidak ada siapa-siapa disana. Aku mulai waspada. Jantungku mulai berdebar keras.
![](https://img.wattpad.com/cover/50716133-288-k930705.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum yang Menghilang
RomanceAku takut. Aku sakit. Aku benci dia. Aku benci diriku sendiri. Berat rasanya memikul peran protagonis yang dibalut dengan antagonis didalamnya, memakai topeng bidadari yang dibaliknya terdapat wajah iblis, menjadi pribadi yang bahkan aku sendiri tid...