Part 10

1.4K 62 6
                                    

Hari-hari terus berlalu. Berganti minggu hingga menjadi bulan. Hidupku mulai penuh dengan berbagai warna, termasuk hitam. Kelam. Menyangkut keluargaku.

Apa aku pernah cerita tentang kondisi keluargaku? Sudah setahun hubungan kedua orang tuaku mulai tidak harmonis. Mulai banyak pertengkaran di setiap malamnya. Jika mereka sudah bertengkar, adikku, Revan, pasti akan mengungsi ke kamarku dan langsung meringkuk di kasur. Aku tahu, yang paling merasa tertekan adalah adikku karena harus mendengar keributan dan segala sumpah serapah yang keluar dari mulut kedua orang tuaku. Aku hanya bisa mengelus punggung adikku untuk menenangkannya. Biasanya setelah pertengkaran, aku selalu mendengar Mama menangis. Tapi aku bisa apa? Aku tidak bisa menenangkan orang yang sedang menangis ketika aku pun merasa sakit.

Suatu hari, adikku yang sedang meringkuk di kasurku pernah bertanya, "Kenapa Mama sama Papa berantem? Revan liatnya sedih. Revan pengen deh kayak kemaren-kemaren. Bisa maen bareng sekeluarga lagi, bisa ngobrol bareng, bisa makan bareng. Kalo sekarang, buat ketemu Papa aja susah. Revan pengen kayak dulu lagi."

Aku tersenyum sedih. Aku tidak bisa menjawab ataupun menanggapi ucapannya. Aku hanya bisa mengelus punggungnya untuk menghilangkan sedikit kesedihannya. Aku sering mendengar adikku menangis, tapi aku tidak mau menanyakannya. Terlalu sedih untuk dengar semua penjelasannya.

Minggu-minggu sebelum ujian akhir, dosen mulai gila-gilaan memberiku tugas dengan peraturan yang setumpuk. Sering membuatku frustasi karena masalah yang menumpuk.

"Ka, tugas gimana? Udah belom? Anjir gua ga ngerti sama sekali," ucap Natha kesal.

"Sama, Nath. Gua juga pusing. Dosen pada ga dikasih jatah kali ya semalem? Heran gue," keluhku.

"Si Jason mana sih? Biasanya dia udah kalo tugas yang kayak gini."

"Ga tau gue. Dia juga sering ga masuk akhir-akhir ini. Sibuk katanya sih, Nath."

"Lebay dah. Orang gua semalem chatting-an sama dia kok. Kita ke rumahnya aja nanti."

Aku berpikir sejenak. "Hmm boleh deh."

Pulang kuliah, aku dan Natha mampir ke rumah Jason untuk diskusi soal tugas. Padahal hari ini dia sedang tidak masuk kuliah. Aku dan Natha terdiam di tempat ketika melihat kejadian yang sedang berlangsung didepan rumahnya.

"Ar, maafin gue plis. Gue tau gue salah dulu. Gue dari dulu pengen minta maaf ke lo, tapi lu ga pernah mau dengerin omongan gue. Plis, kali ini aja. Biarin gua jelasin apa yang gua lakuin dulu," ujar Rini memohon sambil menggenggam tangan Jason.

"Lo mau ngejelasin apa lagi? Gue udah tau semuanya kok," ujar Jason dingin sambil menarik lagi tangannya. Muka Rini memucat.

Natha menyikutku. Aku menoleh padanya dengan tatapan tidak tahu.

"Tapi, Ar, mohon maafin gue. Gue janji gue ga akan kayak gitu lagi. Gue janji," air mata mulai menuruni wajah manis Rini.

Jason tampak menghela nafas panjang. "Gue ga tau bisa maafin lo apa engga."

Aku maju untuk menghampiri Jason. Natha mengikutiku dari belakang, mencoba menahanku untuk tidak ikut campur urusan mereka. Aku bergeming dan tetap melangkahkan kakiku untuk mendekati Jason.

Aku menepuk pelan lengan Jason. Dia menoleh padaku dan aku tersenyum lembut padanya. "Maafin Rini dong. Dia udah usaha buat mohon-mohon gitu masa ga lo maafin? Bisa dosa nanti."

Jason mengerang. "Lu ga tau sih Sof dia ngelakuin apa dulu. Kalo lu tau juga ga mungkin lu bakal maafin dia," ujar Jason keras.

"Dia udah nyesel, Jase. Ga boleh egois. Dia bahkan udah janji sama lo. Lu tega ga nerima maafnya?"

Senyum yang MenghilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang